Selasa, 14 Agustus 2012

Fitnah

Masih cerita seputar kepulangan saya jemput Vell. Saya sampai ke Sragen Sabtu, 08.30 pagi. Setelah beristirahat dan bercengkerama dengan Vell, saya main ke rumah kakak sepupu di seberang rumah saya. Kakak saya ini penjahit, kebetulan saya memang akan membuat baju untuk acara keluarga bulan Desember nanti. Mba Ruk, biasa saya memanggilnya, sedang mengobrol dengan mba Darsi kakaknya, ketika saya datang. 

Setelah ngobrol tentang kedatangan saya, tiba-tiba mba Ruk bertanya mengenai Mustini, si mba yang tempo hari saya antar pulang gara-gara mau menikah dengan laki-laki yang dikenalnya lewat telpon. Selengkapnya baca di sini , sini dan sini

"Mama Nico, emang si Mus pernah minta naik gaji ke kamu tapi gak dikasih?"
"Enggak mba...orang dia minta pulang alasannya mau menikah kok. Saya minta habis lebaran aja ga mau bersabar. Emang kenapa mba?" tanya saya balik.
"Enggak, dia kok ngomong sama mba Yati toko klontong yang di Made itu, trus sama Si Nah yang rumahnya depan Mus juga katanya sudah minta naik gaji 3 kali tapi kamu ga pernah mau kasih. Makanya dia pulang itu.Lha tahu sendiri mba Yati orang nya kayak gitu, nanya ke semua orang jadinya pada tahu masalah ini. Sama ibumu juga bilang kok dia. Emang Ibu ga cerita?" tanya mba Ruk.
Hah....saya melongo. Memang Ibu tidak cerita apapun mengenai masalah ini.
"Tadi aku tegur maknya si Mus itu, kalo anakmu ga mau ikut mama Nico lagi ga papa. Tapi jangan nyebar berita yang ga enak,"sambung mba Darsi.
Masih banyak lagi omongan sepupu saya ini. Saya yakin mereka tidak berbohong. 

Waduh....terus terang saya tidak terima. Saya kecewa sekali. Awal mula kepulangan si mba itu kan saya tahu ketika bapaknya minta alamat rumah saya. Katanya kenalannya yang di Jambi mau melamar, ga ada sepatah katapun dia bicara mengenai gaji. Saya juga ga kepikiran kesitu karena tampaknya tekad si mba untuk pulang sudah bulat. Kerjanya hari-hari terakhir sudah tidak maksimal, terlihat dari anak-anak saya yang enggan di momong dia, padahal biasanya lengket. Naluri anak kecil itu kan kuat sekali. Dia tahu siapa yang tulus sayang dia dan tidak.Memang kata suami saya yang sering pulang awal, onlen terus di hp kerjanya si mba ini. 

Sebelum saya ambil keputusan untuk antar dia, bapaknya malah mau jemput dia sendiri kesini. Tapi saya pikir, daripada ortunya repot, mending saya yang pulang, sekalian nengok eyangnya anak-anak dan nitip Vell yang belum ada pengasuh. Nah, untuk itu saya sudah tanya ke si mba, apa maunya. Terus ikut saya atau gimana? Dia bilang pulang aja. Karena saya kurang yakin, saya sendiri telp ke bapaknya menanyakan kelanjutan si mba. Mau terus tinggal atau pulang. Orang tuanya bilang, pulangkan saja, seandainyapun ada tuntutan kenaikan gaji, seharusnya kan ya saat itu. Bahkan waktu memasrahkan si mba ortunya tidak pernah ada bicara masalah kenaikan gaji. Saya datang baik-baik ke rumahnya, memasrahkan si mba, memberikan perhitungan gaji berikut bonus ke si mba, baru kemudian pulang setelah semua selesai. Niat saya waktu itu, saya ingin tidak ada ganjalan di antara kami, karena memang dia pulang bukan karena bermasalah dengan saya. Saya ingin persaudaraan tetap terjalin dengan baik, tapi ternyata semua ternodai oleh gosip ini. Padahal waktu itu baru saya tahu, ternyata diam-diam ibu punya perjanjian dengan mamaknya si mba, kalau dia mau bertahan sampai Desember akan ditambah 100rb perbulan.

Sambil masak untuk sore harinya saya bertanya pelan-pelan ke ibu mengenai masalah itu. 
"Ngapain kamu ngurusin orang kayak gitu. Mulut comel gitu ga usah dilayanin," jawaban yang saya terima dari ibu.
"Enggak bu, berita yang sampai ke ibu itu benar begitu?" lanjut saya.
"Iya memang begitu, tapi ngapain diladenin. Nanti malah jadi besar masalahnya. Lagipula mana ada maling ngaku, penjara penuh nanti."
"Bu, kalau memang itu benar saya kecewa, bu. Saya sudah berusaha baik dengan mereka, menghargai mereka, menganggap anaknya bagian dari keluarga kami, bukan pembantu. Nah, ini balasan mereka ke aku? Sepatah katapun ga pernah anaknya, apalagi bapaknya minta ke aku. Padahal kan ibu juga udah mau nambahin ke mereka kan? Tapi nyatanya sampai saat terakhir dia tetap minta pulang. Nanti saya mau datangin mereka bu, saya mau meluruskan masalah ini. Saya ga rela nama saya, apalagi nama Bapak dan Ibu dibawa-bawa, apalagi jelas-jelas tidak kita lakukan. Biar lain kali kalau ngomong itu dipikir. Bapak dan Ibu tidak perlu ikut-ikutan, ini terutama kan masalah saya, karena saya yang mereka fitnah."
Tiba-tiba bapak muncul dari ruang depan. 
"Kenapa sih ribut-ribut,"kata Bapak
"Itu lho Bapak masalah si Mus, katanya dia keluar gara-gara saya ga mau naikin gaji. Lha kalau benar, wong fitnah kok ya saya mau telusur ke sumbernya, mau tanya langsung ke orangnya."
"Wah...lha kalo yang itu Bapak setuju ,Nduk. Orang kayak gitu ga bisa dibiarin. Bapak juga jengkel denger kabarnya, tapi belum sempat tanya ke kamu. Paranin aja ke rumahnya. Tanya kenapa kabar kayak gitu bisa tersebar. Ibaratnya kan kalau ga ada api ya ga ada asap,"dukung Bapak.

Sore harinya saya benar-benar mendatangi rumahnya. Mamaknya mba Mus berusaha menyembunyikan kekagetannya ketika melihat saya yang datang. Dengan bahasa yang sehalus mungkin saya tanyakan mengenai masalah itu. Tepat seperti dugaan Ibu mereka tidak mengaku. Bahkan sampai bersumpah segala. Yah.....lidah memang tidak bertulang. Mereka bilang, beginilah hidup di desa, sesama tetangga aja saling menjelekkan, paling gosip ini ulah orang yang tidak suka dengan keluarga mereka. Lah....keluarga mereka, batin saya. Wong yang di jelek-jelekkan itu nama saya lho.... Di ujung pembicaraan berulangkali saya tekankan supaya mereka membantu meluruskan masalah ini.
"Lek, ya saya minta maaf kalau memang berita ini asalnya bukan dari sini. Saya datang ke sini ini cuma pengin tahu duduk permasalahannya. Ibaratnya itu kan ga ada asap kalau ga ada api. Lha tetapi berita ini kan sudah tersebar luas, maka dari itu saya mohon dengan sangat njenengan sekeluarga ikut meluruskan. Apalagi lek juga mengakui pernah ngobrol dengan mba Yati tentang kepulangan Mus,"pungkas saya.

Yang saya petik dari peristiwa ini, tidak semua niat baik itu ditanggapi dengan baik. Tapi tentunya saya tidak mau harga diri keluarga saya dijadikan bahan obrolan yang ga penting alias gosip. Terbersit rasa kawatir, tanpa gosip ini aja susah cari pembantu di kampung saya, apalagi ada gosip ini. Hadeeuhhh... Dan mengenai benar tidaknya omongan mereka, biar saja waktu yang membuktikan. Gusti mboten sare kok. Setidaknya saya lega sudah memberikan shock therapy ke mereka. Jangan bicara sembarangan mengenai orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan jejak disini :)