Rabu, 04 Desember 2013

AUDIT

Menjelang akhir tahun begini kerjaan rasanya jadi padat merayap. Selain karena tutup buku akhir tahun juga karena persiapan menjelang audit laporan keuangan. Audit yang tujuannya tidak lain dan tidak bukan untuk mengevaluasi apakah laporan keuangan sudah disajikan dengan wajar sesuai aturan yang semestinya dalam hal ini PSAK(Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) atau kalau internasional ya IFRS(International Financial Reporting Standard). Ternyata bukan hanya saya di accounting yang di repotin oleh audit, divisi teknik, marketing, Customer Relation, Landscape, Estate dan hampir semua bagian kecipratan juga ngerasain yang namanya audit terutama audit sertifikasi sistem manajemen mutu atau kerennya biasa disingkat ISO. Efeknya terasa sekali menjelang audit, semua sibuk mempersiapkan diri.

Yang menarik adalah ketika pagi ini membuka linimasa salah seorang rekan kantor ada status begini :

Selasa, 03 Desember 2013

LDR

Lama sekali rasanya ga berkunjung ke blog sendiri, 3 bulanan kurang lebih. Apa kabar konsistensi hahaha....susah sekali ya ternyata menulis beberapa baris kata di blog secara konsisten. Kayanya komitmennya yang kurang nih. Ehmm.... bisa jadi salah satu resolusi 2014 nih kayanya. E...tapi nanti dulu, kayanya bakal tambah susah secara karena sekarang LDR an sama suami jadi otomatis tanggung jawab di pundak bertambah. Yang tadinya bisa di bagi berdua jadi harus ditanggung sendiri. Kalaupun nulis mungkin banyakan curcolnya hahaha....

LDR? Itu lho Long Distance Relationship alias hubungan jarak jauh. Per awal November kemarin, suami di beri kepercayaan dari kantornya membuka cabang baru di Sukabumi. Sukabumi-Cileungsi bukan jarak yang dekat. Bisa sih pulang-pergi cuma kalau tiap hari bonyok juga. Secara lewatnya jalur puncak yang kalau hari tertentu macetnya ajib. Alhasil ya LDR deh. Hikss....biasanya tiap hari ktemu eh ini seminggu sekali, rasanya kok ada yang ga lengkap gitu. Mungkin belum terbiasa kali ya? Tapi demi sesuap nasi dan segenggam berlian(hahaha matre ya??) ya sudahlah.... 

Banyak pertimbangan yang harus dipikirkan. Sementara dijalanin aja dulu. Nantinya gimana bisa dipikirkan sambil berjalannya waktu. Anak-anak pun pelan-pelan bisa menyesuaikan diri, tidak terlalu bergantung dengan papanya. Yang lama penyesuaiannya justru emaknya inih hiks...hiks...hiks... (Pah...cepet pulang, lampu kamar mandi mati, kran depan bocor, wastafel mampet, mama meriang etc...etc hahahaha....). Iya berasa banget kalau ada hal pernik tapi urgent semacam itu. Biasanya kan tinggal lapor ama komandan, beres urusannya. Sekarang mau ga mau ya putar otak gimana caranya.

Ehm...tapi kalau dipikir di sekitarku banyak yang menjalani LDR dengan suaminya dan baik-baik saja. Anak-anak sukses dan mandiri, keluarga tetap harmonis. Ada budhe dan pakde yang puluhan tahun LDR karena pakde yang bekerja di bea cukai harus berulang kali pindah-pindah tugas sesuai tuntutan profesi. Ada adikku tersayang di Bone yang dari penganten baru harus berjauhan karena istrinya berdinas di Makasar, ada budhe dan almarhum pakde di Salatiga yang semasa hidupnya juga LDR dan masih banyak lagi tentunya. 

Sekarang masih harus banyak belajar. Menata hati dan pikiran supaya tetap bisa mendidik anak-anak sebaik-baiknya tanpa mereka kehilangan sosok papanya meskipun cuma ktemu seminggu sekali. Menata hati dan pikiran supaya bisa terus menjaga keharmonisan rumah tangga sekalipun jarang bertemu. Seraya tidak lelah memohon pada Tuhan supaya diberi yang terbaik. Matur nuwun sama bapak, karena beliau mendidikku menjadi wanita mandiri dan tidak manja. Mungkin ini hikmahnya, mungkin ini tujuannya. Keep Smile aja deh.




Kamis, 26 September 2013

Bapakku pahlawanku

Tempo hari, waktu lagi ijin keluar kantor aku ketemu dengan situasi yang menurutku menyentuh emosiku. Jadi ceritanya begini, aku melihat seorang bapak menggendong anaknya yang masih batita didadanya dari arah belakang. Semakin dekat, aku semakin tertarik mendengar si bapak bersenandung lagu anak-anak. Balonku ada lima....... Saat kusalib, aku baru tahu ternyata ada anaknya yang lebih besar berdiri di depan. Anak TK, masih dengan seragamnya, bernyanyi dengan semangat mengikuti bapaknya. Aku tersenyum dan entah kenapa dadaku rasanya sesak, ada perasaan haru menyelinap dalam hatiku. 

Jaman sekarang memang tidak aneh jika seorang bapak harus berbagi peran dengan istrinya untuk mengurusi anak-anak. Tapi mendapati seorang bapak yang bahkan dengan sabar dan telaten, mengabaikan rasa malu melayani celoteh anaknya, menyanyi bersamanya sepanjang jalan, sementara ia juga menggendong satu lagi anak didadanya termasuk hal yang langka. Ada perasaan hangat yang mengalir entah darimana setiap mendapati momen yang so sweet begitu. Mungkin karena aku juga sangat dekat dengan bapak. Memori masa kecilku dipenuhi dengan kenangan bersama beliau. 

Bapak tidak pernah marah melihat kenakalanku. Beliau bisa 'menjinakkanku' dengan caranya sendiri. Aku yang tomboi, yang suka memanjat pohon, yang lebih suka memakai celana pendek daripada rok, yang lebih suka main tembak-tembakan daripada pasaran, yang lebih suka main gundu dan layangan daripada lompat tali. Yang lebih nyaman bermain bersama anak lelaki daripada anak perempuan. Bapaklah yang membuatkanku layangan, membelikan gundu, membuatkan tembak-tembakan dari bambu. Tapi bapak juga yang memunculkan sisi feminin dari diriku. Beliau membuatku memanjangkan rambut hingga separo paha(sampai semester 5 di bangku kuliah), beliau dengan telaten mengantarkanku les menari, padahal untuk itu harus ke kota kabupaten yang jaraknya hampir 10 km. Bapak juga suka mendongengi kami bertiga sebelum tidur siang, upah memijit beliau. Bapak yang memandikan dan mengurus kami ketika ibu sibuk memasak dan mengurus rumah. 

Ada satu kejadian sedih sekaligus lucu yang masih kuingat. Saat itu usiaku masih 7 atau 8 tahunan. Jadi ceritanya waktu kecil aku memang raja bandel, apalagi kalau disuruh mandi. Satu kebiasaan sebelum mandi adalah kami bertiga main kejar-kejaran dengan bapak keliling kampung dengan hanya pakai baju dalam 
(yup.... dalam arti yang sebenarnya hahahaha....). Pokoknya begitu bapak bilang ayo mandi, kami ancang-ancang lari wkwkwk.... Suatu siang bapak minta diinjak-injak badannya. Nah mungkin karena kami terlalu semangat, bukannya pegelnya ilang malah boyoknya sakit. Seperti sore sebelumnya kami mulai berlari saat bapak menyuruh mandi. Tapi yang membuat aku terkejut bukan main adalah ketika kami menunggu dan tak kunjung tiba dan kemudian menemukan bapak harus berjalan pakai tongkat untuk mengejar kami. Rasanya bersalah sekali. Tanpa banyak omong aku suruh adik-adik ikut pulang dan mandi dan rasanya itu menjadi saat berakhirnya adegan kejar-kejaran setiap sore.

Hampir setiap sore, setelah mandi, bapak mengajak kami berempat(dengan seorang ponakan yang sebaya) naik sepeda motor ke tepi jalan raya. Saat itu kendaraan masih menjadi sesuatu yanmg membuat kami nggumun(heran). Bahkan di awal-awal kepindahan kami ke Sragen(tadinya tinggal di Brebes) kami masih mendapati anak-anak berebut mencium bau asap knalpot motor yang lewat. Dan anehnya aku mengikutinya, bahkan ketika bapak yang lewat hahaha.... Betapa senangnya kami ketika ada truk tangki atau mobil bagus yang lewat. Bermain di pinggir lapangan, mencari pohon putri malu, balapan daun di air dan masih banyak lagi keasyikan sederhana sebagai anak kecil yang membuat kami tertawa gembira.

Aku dekat sekali dengan bapak. Apapun yang terjadi aku mencari bapak. Sejak kelas 2 SD aku tidak mau tidur bersama bapak atau ibu. Sempit begitu alasanku, mengingat gaya tidurku waktu itu yang rada-rada ajaib. Nah, aku paling takut sama yang namanya suara anjing. Jika tengah malam aku ketakutan aku akan teriak memanggil bapak, dan beliau dengan sabar menemaniku hingga aku tertidur kembali. Beliau juga menanamkan dalam pikiranku bahwa aku harus menjadi pemberani, kata bapak setan atau hantu itu takut sama orang yang pemberani.

Kemudian beranjak dewasa kami(entah aku atau bapak atau justru kami berdua) mulai menjaga jarak, rasanya malu kalau masih bermanja dengan bapak. Beliau memberi kepercayaan dalam banyak hal. Bahkan dalam hal pendidikan atau bahkan dalam hal mencari jodoh. Ketika usiaku mulai bertambah sementara aku tidak pernah mengenalkan seorang laki-lakipun ke bapak ibu, bapak dengan caranya sendiri terus mendukungku. Disaat saudara mulai banyak bertanya kapan? Dan ibu mulai mencoba mengenalkanku ke si itu, si anu, bapak stay cool aja. Mungkin mereka berbagi peran, aku tak tahu. Dan ketika akhirnya aku berniat mengenalkan seorang laki-laki yang kupilih menjadi calon suami, walau pada awalnya ibu masih ragu mengingat kami berlainan suku, bapak mendukungku.

Bapakku tercinta


Bapak jarang sekali marah, tapi sekalinya marah wooo...jangan tanya. Rasanya takuuut sekali. Bahkan tanpa beliau ngomong apa-apa pun. 

Hahaha...rasanya malu menuliskan ini semua, tapi kenangan ini terlalu manis bila hanya diingat. Karena sepanjang apapun ingatan manusia tidak jauh dari yang namanya lupa. Selamanya aku tak ingin melupakannya, makanya aku menuliskannya disini. Rasanya takkan habis cerita tentang bapak. 
Bapakku. Pahlawanku.









Quo Vadis Sistem Pendidikan Kita??

Baru-baru ini baca link dari wall teman di facebook yang membawaku pada artikel ini , fiuhhh....rasanya miris sekali membacanya. Ini tentang suatu pidato saat wisuda dari seorang siswi SMU di Amrik sono(sumber asli : di sini)

Valedictorian Speaks Out Against Schooling in Graduation Speech
by Erica Goldson
Here I stand
There is a story of a young, but earnest Zen student who approached his teacher, and asked the Master, “If I work very hard and diligently, how long will it take for me to find Zen? The Master thought about this, then replied, “Ten years.” The student then said, “But what if I work very, very hard and really apply myself to learn fast – How long then?” Replied the Master, “Well, twenty years.” “But, if I really, really work at it, how long then?” asked the student. “Thirty years,” replied the Master. “But, I do not understand,” said the disappointed student. “At each time that I say I will work harder, you say it will take me longer. Why do you say that?” Replied the Master, “When you have one eye on the goal, you only have one eye on the path.”
This is the dilemma I’ve faced within the American education system. We are so focused on a goal, whether it be passing a test, or graduating as first in the class. However, in this way, we do not really learn. We do whatever it takes to achieve our original objective.
Some of you may be thinking, “Well, if you pass a test, or become valedictorian, didn’t you learn something? Well, yes, you learned something, but not all that you could have. Perhaps, you only learned how to memorize names, places, and dates to later on forget in order to clear your mind for the next test. School is not all that it can be. Right now, it is a place for most people to determine that their goal is to get out as soon as possible.
I am now accomplishing that goal. I am graduating. I should look at this as a positive experience, especially being at the top of my class. However, in retrospect, I cannot say that I am any more intelligent than my peers. I can attest that I am only the best at doing what I am told and working the system. Yet, here I stand, and I am supposed to be proud that I have completed this period of indoctrination. I will leave in the fall to go on to the next phase expected of me, in order to receive a paper document that certifies that I am capable of work. But I contend that I am a human being, a thinker, an adventurer – not a worker. A worker is someone who is trapped within repetition – a slave of the system set up before him. But now, I have successfully shown that I was the best slave. I did what I was told to the extreme. While others sat in class and doodled to later become great artists, I sat in class to take notes and become a great test-taker. While others would come to class without their homework done because they were reading about an interest of theirs, I never missed an assignment. While others were creating music and writing lyrics, I decided to do extra credit, even though I never needed it. So, I wonder, why did I even want this position? Sure, I earned it, but what will come of it? When I leave educational institutionalism, will I be successful or forever lost? I have no clue about what I want to do with my life; I have no interests because I saw every subject of study as work, and I excelled at every subject just for the purpose of excelling, not learning. And quite frankly, now I’m scared.
John Taylor Gatto, a retired school teacher and activist critical of compulsory schooling, asserts, “We could encourage the best qualities of youthfulness – curiosity, adventure, resilience, the capacity for surprising insight simply by being more flexible about time, texts, and tests, by introducing kids into truly competent adults, and by giving each student what autonomy he or she needs in order to take a risk every now and then. But we don’t do that.” Between these cinderblock walls, we are all expected to be the same. We are trained to ace every standardized test, and those who deviate and see light through a different lens are worthless to the scheme of public education, and therefore viewed with contempt.
H. L. Mencken wrote in The American Mercury for April 1924 that the aim of public education is not “to fill the young of the species with knowledge and awaken their intelligence. … Nothing could be further from the truth. The aim … is simply to reduce as many individuals as possible to the same safe level, to breed and train a standardized citizenry, to put down dissent and originality. That is its aim in the United States.”
To illustrate this idea, doesn’t it perturb you to learn about the idea of “critical thinking?” Is there really such a thing as “uncritically thinking?” To think is to process information in order to form an opinion. But if we are not critical when processing this information, are we really thinking? Or are we mindlessly accepting other opinions as truth?
This was happening to me, and if it wasn’t for the rare occurrence of an avant-garde tenth grade English teacher, Donna Bryan, who allowed me to open my mind and ask questions before accepting textbook doctrine, I would have been doomed. I am now enlightened, but my mind still feels disabled. I must retrain myself and constantly remember how insane this ostensibly sane place really is.
And now here I am in a world guided by fear, a world suppressing the uniqueness that lies inside each of us, a world where we can either acquiesce to the inhuman nonsense of corporatism and materialism or insist on change. We are not enlivened by an educational system that clandestinely sets us up for jobs that could be automated, for work that need not be done, for enslavement without fervency for meaningful achievement. We have no choices in life when money is our motivational force. Our motivational force ought to be passion, but this is lost from the moment we step into a system that trains us, rather than inspires us.
We are more than robotic bookshelves, conditioned to blurt out facts we were taught in school. We are all very special, every human on this planet is so special, so aren’t we all deserving of something better, of using our minds for innovation, rather than memorization, for creativity, rather than futile activity, for rumination rather than stagnation? We are not here to get a degree, to then get a job, so we can consume industry-approved placation after placation. There is more, and more still.
The saddest part is that the majority of students don’t have the opportunity to reflect as I did. The majority of students are put through the same brainwashing techniques in order to create a complacent labor force working in the interests of large corporations and secretive government, and worst of all, they are completely unaware of it. I will never be able to turn back these 18 years. I can’t run away to another country with an education system meant to enlighten rather than condition. This part of my life is over, and I want to make sure that no other child will have his or her potential suppressed by powers meant to exploit and control. We are human beings. We are thinkers, dreamers, explorers, artists, writers, engineers. We are anything we want to be – but only if we have an educational system that supports us rather than holds us down. A tree can grow, but only if its roots are given a healthy foundation.
For those of you out there that must continue to sit in desks and yield to the authoritarian ideologies of instructors, do not be disheartened. You still have the opportunity to stand up, ask questions, be critical, and create your own perspective. Demand a setting that will provide you with intellectual capabilities that allow you to expand your mind instead of directing it. Demand that you be interested in class. Demand that the excuse, “You have to learn this for the test” is not good enough for you. Education is an excellent tool, if used properly, but focus more on learning rather than getting good grades.
For those of you that work within the system that I am condemning, I do not mean to insult; I intend to motivate. You have the power to change the incompetencies of this system. I know that you did not become a teacher or administrator to see your students bored. You cannot accept the authority of the governing bodies that tell you what to teach, how to teach it, and that you will be punished if you do not comply. Our potential is at stake.
For those of you that are now leaving this establishment, I say, do not forget what went on in these classrooms. Do not abandon those that come after you. We are the new future and we are not going to let tradition stand. We will break down the walls of corruption to let a garden of knowledge grow throughout America. Once educated properly, we will have the power to do anything, and best of all, we will only use that power for good, for we will be cultivated and wise. We will not accept anything at face value. We will ask questions, and we will demand truth.
So, here I stand. I am not standing here as valedictorian by myself. I was molded by my environment, by all of my peers who are sitting here watching me. I couldn’t have accomplished this without all of you. It was all of you who truly made me the person I am today. It was all of you who were my competition, yet my backbone. In that way, we are all valedictorians.
I am now supposed to say farewell to this institution, those who maintain it, and those who stand with me and behind me, but I hope this farewell is more of a “see you later” when we are all working together to rear a pedagogic movement. But first, let’s go get those pieces of paper that tell us that we’re smart enough to do so!
~~~~~~~~~~


Membaca teks pidato di atas, apa yang kamu pikirkan? Ini bahan perenungan bagi kita semua. Sistem pendidikan kita tidak jauh berbeda dengan apa yang terungkap di situ. Mendorong anak didik untuk berprestasi secara akademis dan mengesampingkan hal-hal yang seharusnya menunjang sisi sosio emosionalnya. Apa yang akan terjadi kelak jika terus-terusan begini? Sebagai orang tua sejujurnya aku memiliki kekawatiran yang sama dengan yang diungkapkan oleh Erica Goldson. Aku tak ingin anakku hanya belajar keras disekolah, tapi tidak mempunyai kapabilitas sebagai pribadi untuk berkembang secara emosional dan mempunyai kemampuan untuk membawa diri saat dewasa. Mempunyai hasil akademis yang brilian tapi merasa gamang atau bahkan takut untuk menghadapi kehidupan yang sesungguhnya. Ada banyak contoh yang aku lihat, bahwa kemampuan akademis saja tidak menjamin keberhasilan dalam hidup seseorang. Semakin miris saat aku melihat bagaimana sistem pendidikan di Indonesia belakangan ini berkembang. Nilai akademis menjadi begitu diagung-agungkan, menjadi tolok ukur segala sesuatu dalam bingkai pendidikan formal. Bagaimana seorang siswa yang begitu berprestasi selama tahun-tahun pendidikannya kemudian harus meratapi nasibnya ketika dinyatakan tidak lulus hanya karena nilai ujian nasionalnya jeblok. Penilaian secara kuantitatif menjadi momok bagi tolok ukur keberhasilan seorang pelajar. Bagaimana dengan sisi sosio emosionalnya? Penilaian dari satu aspek saja rasanya menjadi tidak masuk akal. Pintar saja tidak akan cukup jika tidak di imbangi dengan kemampuan sosio emosional yang memadai.

Bagaimana tidak miris, untuk masuk sekolah dasar yang bonafid saja seringkali anak-anak harus di tes membaca, menulis dan berhitung. Anak-anak yang seharusnya menikmati waktu mereka untuk bermain sambil belajar dengan gembira, dan bukan sebaliknya. Dan ironisnya seringkali orang tua lah yang menjadi pendorong situasi seperti ini.

Bulan lalu aku datang ke sekolah Nick untuk menghadiri parents meeting yang rutin diadakan di awal tahun ajaran. Dalam pertemuan itu terungkap kasak kusuk nada kecewa dari beberapa orang tua karena anaknya belum bisa membaca dan menulis sedangkan TK lain yang setara anak-anaknya sudah bisa calistung. Bahkan di tahun-tahun sebelumnya Nick harus kehilangan teman-teman seangkatannya karena dipindahkan orang tuanya ke TK lain dengan alasan yang sama. Agaknya pihak sekolah mencium gelagat seperti ini. Dalam pertemuan itu mereka menjelaskan metode pengajaran di sekolah itu, dan menjelaskan betapa pentingnya anak berkembang sesuai usianya. Dan masa TK adalah masa bermain, seandainya harus belajar pun tetap dalam kerangka permainan. Salah satu pengajar disitu kebetulan sedang menyusun desertasi tentang adanya 'masa yang hilang'(lost period) saat masa anak-anak yang ternyata berdampak terhadap perilaku dan pola pikir kita saat dewasa. Periode yang disebut ' masa yang hilang' itu adalah masa bermain.

Ada pula orang tua yang mempertanyakan kenapa tidak dibuat sistem ranking seperti halnya di TK tempat anak pertamanya sekolah. Sehingga anak terpacu untuk melakukan yang terbaik. Hadewhhh...... Agaknya apa yang tertulis di pidato Erica Goldson bisa terjadi juga dengan anak-anak kita seandainya hal itu diterapkan. Bedanya mungkin bahkan kita tidak menyadari membentuk anak kita menjadi produk sistem pendidikan semata. Untungnya masih ada pendidik yang peduli untuk benar-benar mendidik dan bukan hanya mengajar anak didiknya. Masih ada sekolah yang rela kehilangan potensi mendapatkan anak didik yang banyak (yang tentunya menguntungkan secara finansial) karena mempertahankan prinsip bahwa pendidikan anak harus sesuai usia psikologisnya. Jawaban yang diberikan pihak sekolah mengenai tuntutan seperti itu adalah bahwa untuk anak usia dini proses lah yang lebih dilihat dan diperhatikan. Bagaimana si anak berproses untuk mulai mengenal dirinya sendiri, keluarganya dan sekitarnya. Dan menghimbau hendaknya orang tua lebih menghargai bagaimana usaha anak, walaupun hasilnya belum tentu memuaskan. That's the point!


Sistem pendidikan yang ada sekarang rasanya mereduksi pembelajaran disekolah lebih kepada hal-hal yang bersifat akademis semata. Beratnya kurikulum yang konon berkiblat pada negara-negara yang lebih maju membebani anak-anak kita dengan porsi pelajaran yang membuat anak kurang bisa mengeksplor dirinya dan lingkungan karena sebagian besar waktunya habis untuk belajar dan belajar. Belum lagi kita terbiasa mengapresiasi rangking teratas (5/10 besar), nilai sempurna (80-100) kita jarang mengapresiasi kerja keras mereka dalam belajar. Padahal ada anak yg sudah belajar mati-matian tapi mereka tetap tidak dapat nilai bagus, gak dapat rangking karena kemampuan mereka tidak sama dan bakat mereka pun beda-beda. Akibatnya? Ketika UN sekolah melakukan kecurangan diamini oleh ortu (sdh terjadi bukan?). Kalau anak-anak kita terbiasa dihargai kerja kerasnya bukan angka atau nilainya semata, mereka pasti menolak disuruh curang, karena mereka PD dengan hasil usaha belajarnya sendiri, tapi nyatanya…buanyakkk anak-anak itu yg melaksanakan perintah memalukan itu.

Sebenarnya apa sih yang ingin dicapai oleh pihak-pihak yang berwenang dalam pendidikan dengan sistem yang ada sekarang? Manusia unggul? Dalam hal apa? Apakah semata dalam bidang akademis? Mungkin ini yang harus kita renungkan kembali. Dan sebagai orang tua, awam pula, rasanya aku hanya bisa mengkritisi hal ini demi kepentinganku sendiri, atau paling banter ya menularkannya ke sekitarku.

Aku ingin anak-anakku merasakan apa yang pernah kurasakan dulu, menikmati masa kecil dengan gembira. Bermain sepuasnya, belajar dengan gembira. Melakukan kenakalan sewajarnya anak kecil, memanjat pohon, berlarian kesana-kemari, menangkap belalang dan kunang-kunang dan tentu tanpa melupakan PR dari guru (eh pernah lupa juga sih, sampai akhirnya dapat tugas piket ekstra hahaha).

Memang sih, berhasil secara akademis itu membanggakan, karena itu tolok ukur yang dipakai untuk menilai sehingga dianggap menjadi orang yang berhasil tetapi alangkah bangga dan bahagianya jika berhasil menjadi orang. Dalam artian bukan berhasil secara materi saja, tapi mampu berempati dan berbela rasa kepada sesama. Mampu memilah dan memilih tindak tanduknya sesuai norma yang ada, tanpa mengabaikan hati kecilnya. Dan yang paling penting adalah menjadi orang yang nyaman dengan dirinya sendiri. Terus terang aku masih terus mencari, sekolah dengan model pendidikan yang memanusiakan manusia. Untuk kelak menganjurkan anakku sekolah ke sana, tanpa pernah bermaksud memaksakan kehendak tentunya. Dan sudah seharusnya pendidikan paling awal dan utama bagi seorang anak adalah tanggung jawab orang tua.






Kamis, 11 Juli 2013

JEDA

Berhenti sejenak, beristirahat, ngaso, rehat mungkin itu padanan kata yang bisa digunakan untuk menggantikannya. Hidup kita perlu jeda. Dalam hal apapun. Bahkan dalam hal yang paling vital sekalipun, ada jarak waktu tertentu dimana kita harus berhenti sejenak. Manusia bernapas ada jedanya, detak jantung kita ada jedanya. Dan itu harus, bayangkan saja seandainya kita tak henti bernapas (ngos-ngosan?) atau jantung kita tak hentinya berdetak. Waduh..... Lha wong mesin aja harus ada istirahatnya apalagi kita manusia. 

Semua orang membutuhkan jeda. Intervalnya tentu berbeda satu dengan yang lainnya. Jeda itu bisa merelaksasi badan, merelaksasi pikiran. Untuk merelaksasi badan sekaligus pikiran banyak yang bisa dilakukan. Misalnya dengan rekreasi ke tempat yang indah, melakukan kegiatan yang tidak biasa kita lakukan atau di luar kebiasaan kita, mencoba melakukan hal baru, mencari teman baru dan masih banyak lagi caranya.

Jedaku bagaimana? Aku biasa melakukan hal-hal yang aku senangi. Membaca dan menulis adalah salah satunya. Membaca membuat pikiranku mengembara ke tempat-tempat dan situasi yang aku inginkan tanpa perlu harus kemanapun. Catet!! Ga usah kemanapun. Hehehe ini penting karena kedua krucilku masih sangat membutuhkanku dan aku meletakkan mereka di prioritas yang paling tinggi sekarang. Entah nanti, saat mereka mulai mandiri dan tidak terlalu membutuhkanku disamping mereka. Mungkin aku akan benar-benar menyambangi tempat-tempat yang selama ini hanya aku nikmati lewat bacaan (hahaha....dream big). Eh OOT dikit, kekuatan pikiran, kekuatan mimpi itu ga boleh disepelekan lho, karena semua berawal dari pikiran *_* (terkontaminasi suami yang baca secret nya Rhonda Byrne wkwkwkkk).

Oya, konon puasa itu juga jeda lho bagi sistem tubuh kita. Jadi selama puasa tubuh membersihkan diri dari racun yang kita tumpuk selama ini. Detoksifikasi gitu bahasa kerennya. Pola makan yang tinggi karbohidrat bahkan tinggi lemak ciri khas orang Indonesia rawan sekali terhadap penyakit degeneratif seperti diabetes, penyakit mematikan seperti penyakit jantung, penyumbatan pembuluh darah dan banyak penyakit menakutkan lainnya. Nah ketika kita puasa tubuh seolah dibersihkan dari zat-zat yang tidak kita perlukan. Ini dengan catatan menu berbuka dan sahurnya juga diperhatikan ya....
Jadi beruntunglah wahai siapapun yang suka berpuasa, karena sangat bermanfaat untuk kesehatan. Aku sendiri suka mempraktekkan food combining dan puasa. Kombinasi keduanya aku rasakan sangat berguna menjaga stamina.

Food combining itu pola makan sehat alami yang dipopulerkan oleh Ibu Andang Gunawan lewat bukunya "Food Combining, Kombinasi Makanan Serasi, Pola Makan untuk Langsing & Sehat. FC merupakan pola makan sehat alami yang mendukung seluruh organ tubuh kita dapat bekerja dengan baik, sehingga kesehatan kita terjaga. Dampaknya, penampilan tampak lebih muda dan segar, dengan emosi yang terjaga dan mudah merasa bahagia. Selain itu, penyakit yang mungkin ada dalam tubuh kita, terutama penyakit akibat gangguan metabolisme, dapat teratasi. Seperti kegemukan/kekurusan, alergi/asma, gangguan lambung, gangguan asam urat, kencing manis, hipertensi, hiperkolesterol/trigliserida, stroke, penyakit jantung, tumor/kanker, gangguan emosional (stres, depresi, hiperaktif, keranjingan makanan, dll).(copas dari sini ) Jujur sih, aku belum menerapkan sepenuhnya metodenya but trust me, it works. Xoxoxoxo masih suka tergoda dengan gorengan dan teman-temannya. Eh OOT bangeettss hahahaha.....

By the way selamat menunaikan ibadah puasa ya buat saudaraku umat muslim. Semoga ibadahnya diterima dan lancar sampai Idul Fitri nanti. Amiinn.


Selasa, 09 Juli 2013

Lima Tahun

Hari ini, detik ini, lima tahun yang lalu, aku sedang mondar mandir di lorong sebuah rumah sakit. Rasa sakit yang menjalar di seluruh pinggang hingga ke punggung membuatku tidak bisa duduk diam dan menunggu, meskipun suster berkali-kali mengingatkannku untuk menghemat tenaga. Bahkan aku nekat naik turun tangga sebelum mbak security yang baik hati menggandengku sembari mengatakan betapa bahaya kelakuanku.

Aku dengan perut besarku berjalan kesana kemari menahan sakit yang tambah menjadi, menantikan sesuatu yang sangat penting dalam hidupku. Hadirmu ke dunia ini nang.... Yah saat itu mama sedang menantikan detik-detik kelahiranmu. Bukan isapan jempol jika orang-orang mengatakan bahwa ibu adalah sosok yang luar biasa karena sudah melahirkan kita, dengan taruhan nyawa. Hari itu mama mengalaminya. 

Proses kelahiranmu bisa dibilang tidak mudah nang. Hampir dua jam dokter, perawat serta bidan membantu mama melahirkanmu, dua puluh empat jam lebih setelah mulas mulai mendera mama. Menit-menit terakhir menjelang kelahiranmu, ketika mama nyaris kehabisan tenaga, papamu bahkan sudah siap menandatangani andai operasi adalah jalan terakhir. Tapi dokter yang baik hati itu tidak mau menyerah. Kami sempat berdiskusi, dalam situasi yang mendesak dokter itu menyarankan untuk di vakum dulu. Bayi ibu sangat kuat, jantungnya masih bagus, begitu katanya. Mama sempat bertanya, tidak adakah efek sampingnya andai itu dilakukan? Dokter itu tersenyum ramah sambil mengatakan, "anak pertama saya juga di vakum bu, sampai sekarang perkembangannya bagus, tidak pernah ada masalah" katanya. Dan kemudian proses itu dimulai. Mama tidak lagi merasakan mulas, tidak lagi merasa sakit, yang ada hanya semangat untuk mendengar tangismu pertama kali. Dan ketika suara tangismu terdengar, lunas sudah semua pengorbanan mama. Bahagia sekali rasanya. 

Tak sabar rasanya mama ingin sekali mendekapmu, memelukmu jagoan kecilku. Tapi rupanya mama harus bersabar menahan keinginan itu. Papamu mengabarkan bahwa kamu harus dirawat khusus akibat persalinan yang panjang itu. Betapa mirisnya mama ketika akhirnya bisa melihatmu. Tanganmu yang mungil dibalut gips yang menahan infus supaya tetap berada di tempatnya. Bahagia, haru sekaligus sedih menjadi satu. Mama tak tahan untuk tidak menangis. Seminggu lebih kamu tinggal di rumah sakit, sementara mama yang belum terlalu pulih terus bertekad menemanimu tiap hari, walaupun harus bolak-balik ke rumah sakit.

Ah itulah sekelumit kisah kelahiranmu nang, bocah bagus anakku lanang.... Lihatlah sekarang. Kamu sudah tumbuh menjadi bocah kecil yang membanggakan. Jagoan kecil mama yang hebat. Teruslah tumbuh besar nak, besarkan badanmu, besarkan hatimu. Nikmatilah masa kecilmu dengan gembira. Aku, ibumu ini akan terus menjagamu, dengan raga, doa dan hatiku.


(Memori, 09 Juli 2008)














Rabu, 10 April 2013

HOBBY

Apa hobimu? Hmmm.....kalau ditanya demikian tanpa ragu akan menjawab, aku suka sekali membaca buku. Kalau sudah membaca buku aku sering keasyikan, ibaratnya biar mertua lewat juga sebodo teuing hahahaha......  Beberapa waktu kegemaranku yang satu ini sempat terabaikan, pasalnya tempat tinggal dan tempat kerja yang lumayan jauh ditambah kesibukan yang sepertinya ga ada habisnya membuatku nyaris tak punya waktu membaca apalagi hunting buku.

Tapi banyaknya online shop yang menjual buku memungkinkan aku belanja buku online. Memang sih kenikmatan dan kepuasannya lain dengan hunting buku langsung ke toko buku tapi setidaknya ini bisa jadi solusi buatku. Tinggal klak klik pesan di website dan transfer uang kemudian buku datang beberapa hari kemudian, sangat mudah :)

Eits kok jadi ngomongin belanja ya hehehe..... Intinya sih karena beli buku online hobiku membaca bisa tersalurkan kembali. Terakhir kemarin beli buku dongeng untuk Nico & Vellyn (hahaha ternyata isinya ngocol habis......), trus beli buku secret nya Rhonda Byrne untuk Papa, n tidak lupa beli book setnya Ilana Tan untuk diriku sendiri (Summer in Seoul, Autumn in Paris,Winter in Tokyo dan Spring in London). Ada yang aneh ga? Hahaha iya....aku paling banyak beli buku untukku sendiri.






Menyalurkan hobi itu menurutku adalah salah satu bentuk refreshing. Cuma berhubung krucils masih kecil-kecil dan ga mau tinggal diam ketika melihatku asyik membaca jadinya aku mencuri-curi waktu saat mereka asyik bermain dengan papanya atau pengasuhnya atau saat mereka sudah tidur pulas. Penginnya sih kesukaanku ini bisa menular ke anak-anak kelak. Makanya mulai sekarang aku sering membelikan mereka buku, membacakannya saat menjelang tidur. Uhhhh.......buku kedua (autumn in Paris) nyaris selesai kubaca. Hiksss nangis bombay deh baca yang ini. Resensinya nanti kalau sudah selesai semua deh.

Selasa, 09 April 2013

Waris Dirie - Desert Flower

Nah, aku pernah berjanji untuk menulis resensinya setelah selesai membaca bukunya. Sekarang aku menepati janjiku. Buku ini adalah kisah nyata seorang perempuan Somalia bernama Waris Dirie, kisah perjuangannya dari seorang pengembara gurun yang bebas lepas dan menyatu dengan alam menjadi manusia yang sukses hidup di kota metropolitan, seorang supermodel yang bahkan akhirnya menjadi duta PBB. Perjuangan tanpa henti seorang wanita demi harga diri dan harkat martabatnya sebagai perempuan dan sebagai manusia.

Pada bab-bab awal aku merinding membaca betapa kerasnya perjuangan mereka - para pengembara gurun itu, bahkan sekedar untuk makan. Rasa merinding berubah menjadi ngeri manakala aku membaca bab yang menggambarkan bagaimana para perempuan disana harus menjalani sunat yang bagiku sangat tidak masuk akal dan kejam, tak sedikit korban nyawa terenggut karena tradisi yang mereka lakukan itu. Hikssss aku tidak bisa menahan airmataku waktu membacanya. Aku perempuan dan tidak yakin bisa menjalani apa yang mereka gambarkan itu.

Bab-bab selanjutnya berisi perjuangan seorang Waris Dirie yang melarikan diri dari keluarganya karena tidak mau dipaksa menikah oleh orang tuanya. Bayangkan dari gurun tempat tinggalnya ia berlari tanpa alas kaki menghindari kejaran ayahnya, berjalan siang malam setelah lolos dari ayahnya, hampir mati diterkam singa, nyaris diperkosa kenek truk dan akhirnya sampai ke rumah familinya. Lagi-lagi aku merinding. Beyond my imagination, tapi Waris Dirie bisa melalui semuanya.

Perjuangannya menjadi model juga tidaklah mudah. Dari menjadi pembantu rumah tangga di rumah pamannya sendiri yang menjadi duta besar sampai akhirnya dia bertekad memperjuangkan nasibnya sendirian ketika seluruh keluarganya kembali ke Somalia saat masa jabatan pamannya habis. Ini kisah nyata, namun aku merasa seolah apa yang dialami Waris Dirie itu hampir tidak mungkin terjadi. Bukan...bukan karena aku tidak percaya dengan kisah ini, melainkan karena pengalaman hidup tidak pernah memperlihatkan kepadaku kalau hidup bisa sekeras itu.

Membaca buku ini membuatku lebih bersyukur terhadap apapun yang telah aku alami, apapun yang aku miliki. Dan membaca buku ini meyakinkan aku bahwa keajaiban bisa terjadi ketika kita mau berusaha memperjuangkannya. Jadi kapan kamu mau membaca buku ini?



* gambar diambil dari sini

Senin, 08 April 2013

Nama Buletin Itu.....Sang gama

Gimana reaksimu baca nama Buletin diatas? Gara-gara buletin dengan nama itu aku pernah dapat surat panggilan dari Purek III Universitas tempatku belajar.

Ceritanya aku mengepalai biro litbang di Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Ekonomi tempatku menuntut ilmu. Nah, salah satu program biroku adalah menerbitkan tabloid yang berisi tulisan dan aspirasi mahasiswa di fakultas ekonomi. Para pendahulu kami bukannya tidak pernah mempunyai ide ini tapi dari yang aku dengar dan rasakan sendiri responnya sangat minim bahkan gaungnya nyaris tidak ada. Kami para pengurus berusaha mencari ide bagaimana caranya menarik perhatian para mahasiswa di kampus kami yang rata-rata study minded supaya tergerak hatinya untuk ikut peduli dengan lingkungan belajar di kampus dan kegiatan seputar kampus atau apesnya membuat mereka tertarik untuk memungut dan membaca tabloid gratis yang kami terbitkan.

Nah, mulailah kami menggali ide dari aspirasi anggota dan pengurus BPM yang akhirnya sepakat untuk memakai nama yang kontroversial supaya bisa menerbitkan penasaran setiap orang yang melihatnya. Daaannn nama tabloid itu "SANG GAMA" yang merupakan kependekan dari Sarana Aspirasi daN Gagasan-GAgasan MAhasiswa. Aku yang kebetulan mengepalai biro itu kebagian sampur menjadi pimpinan redaksinya. Kenapa kami menamainya demikian? Pertimbangan utamanya adalah untuk menarik perhatian, supaya tujuan utama kami untuk menggali aspirasi dan gagasan dari seluruh lapisan mahasiswa tercapai.

Hari ketika buletin itu terbit dan mulai beredar di kampus pun tiba. Semua pengurus dilibatkan untuk distribusi majalah yang sebenarnya tidak terlalu banyak kalau dihitung dari segi jumlah eksemplarnya. Perpustakaan, Lobi, TU, Kantin, dan tempat fotocopy menjadi sasaran utama kami. Dan guess what....buletin itu laris manis dalam tempo sekejab. Woowww.....!!! 

Tapi sebagai buntutnya beberapa hari kemudian kami pengurus redaksi mendapat surat panggilan dari PUREK III yang intinya mempertanyakan buletin itu. Waduhhhh..... Sebelum menghadap rektor tentunya kami perlu berkonsultasi dulu dengan dekan fakultas. Kepada beliau kami menjelaskan apa maksud dan tujuan kami sebenarnya, dan rupanya beliau pun bisa memahami maksud kami dan bersedia untuk berbicara dengan pengurus Universitas. Dan hasilnya buletin kami tetap boleh terbit....horeeeee..... Setelah edisi perdana yang lumayan kontroversial itu kami sempat menerbitkan beberapa edisi lanjutan. Dan rupanya trik kami menggunakan nama yang kontroversial itu berhasil dari segi pemasaran. Sejak saat itu, buletin kami selalu laris manis walaupun isinya adalah artikel sumbangan para dosen dan mahasiswa serta rubrik informasi seputar kampus dan tidak ada satupun yang aneh-aneh alias menyangkut pornografi misalnya. 

Pengalaman yang lumayan berkesan dan tidak terlupa. Sayang aku tidak menyimpan satupun salinannya. 













Rabu, 13 Februari 2013

MERRY RIANA - Mimpi Sejuta Dollar

Akhirnya aku dapetin juga buku ini setelah lama masuk waiting list di Gramedia Online. Dan akhirnya tuntas juga membacanya. Aku suka sekali membaca, namun aku tipe orang yang sangat penasaran dengan alur cerita yang sedang aku baca jadi alhasil aku kebutlah buku itu sampai tuntas. Wow....fantastis, itu komentarku tentang perjuangan seorang Merry Riana mendapatkan Satu Juta Dollar pertamanya. And here is....resensi bukunya versi saya.

Cerita bermula dari kerusuhan Mei 1998 yang membuat orang tua Merry mengambil keputusan untuk menyekolahkan Merry ke Singapura, padahal rencana semula Merry akan kuliah di Trisakti. Situasi sosial politik Jakarta yang tidak menentu waktu itu membawa kekawatiran akan kelangsungan studi Merry, sehingga orang tuanya mengambil keputusan itu. Tanpa bekal finansial yang memadai dan dengan mengandalkan pinjaman pemerintah Singapura Merry nekat berangkat ke Nanyang Technological University(NTU) Singapura. Saat berangkat ia bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana hidupnya nanti di perantauan mengingat tidak sekalipun ia tinggal terpisah dengan keluarganya. Tetapi tekadnya yang kuat mengalahkan segala ketakutan dan kekawatiran dalam hatinya.

Perjuangan yang sesungguhnya dimulai. Ternyata pinjaman dari pemerintah Singapura yang semula diandalkan oleh orang tuanya hanya cukup memenuhi kebutuhan studinya dan hanya menyisihkan kurang lebih $10 Singapura seminggu untuk biaya hidup. Sebagai bayangan saja, $1 hanya cukup untuk membeli sepiring nasi dengan lauk sayur tahu dan taoge di kantin kampusnya. Dan seminggu dengan $10 dollar saja??? Nyaris imposible bukan? Tapi dia bisa bertahan, melalui hari-harinya dengan mengandalkan sepuluh dollar dan bekal sembako yang sengaja dibawanya dari Jakarta. Jadi pagi hari dia memasak mie instan, siang hari dia makan setangkup roti tanpa selai, malam hari kalau mujur dia bisa ikut perkumpulan mahasiswa dan mendapat makan malam, kalau ga ya makan mie lagi atau puasa, sesekali di siang hari dia bisa membeli sepiring nasi dan sayur tahu taoge (makanan paling enak yang bisa dibelinya hikksss....). Dan itu berlangsung selama satu semester. Kebayang ga gimana rasanya?

Tapi seorang Merry Riana memang gadis yang berkemauan kuat, dan sangat luar biasa. Orang lain mungkin sudah menyerah, tapi Merry Riana justru menggunakan segala keterbatasan yang dipunyainya untuk memotivasi dirinya melakukan hal terbaik. Dia ingin mengubah hidupnya, cita-citanya adalah memiliki kebebasan finansial sebelum usia 30 tahun, selagi dia masih muda, selagi orang tuanya masih kuat dan masih bisa menikmati keberhasilannya nanti.

Jalan yang dia lalui tidak mudah, tidak semua orang berhasil melewatinya tapi dia bisa berhasil. Perjuangannya bukan tanpa hambatan, bahkan ujian terberat diterimanya saat dia nyaris berhasil (pembenaran dari teori the darkest hour). Andai dia menyerah saat itu pasti tidak ada Merry Riana yang sekarang. Pendapatan Sejuta dollar diraihnya ketika usianya baru 26 tahun. Bukan hanya itu sekarang dia juga dikenal sebagai salah satu motivator ulung di Asia. Siapa yang menyangka?

Dari buku ini saya belajar bahwa keberhasilan seseorang itu adalah buah kerja keras, kerja cerdas dan doa yang tiada putus. Ora et Labora, berdoa dan berusaha.

Haiyah.... pokoknya cerita hidupnya sangat menginspirasi. Recomended book lah buat dibaca hehehe.....
Sekarang lagi baca kisah hidupnya Waris Dirie - Desert Flower, kalau udah slesai aku posting resensinya.










Mengapa disebut Rabu Abu?

 
Rabu Abu adalah hari pertama Masa Prapaska, yang menandai bahwa kita memasuki masa tobat 40 hari sebelum Paska. Angka “40″ selalu mempunyai makna rohani sebagai lamanya persiapan. Misalnya, Musa berpuasa 40 hari lamanya sebelum menerima Sepuluh Perintah Allah (lih. Kel 34:28), demikian pula Nabi Elia (lih. 1 raj 19:8). Tuhan Yesus sendiri juga berpuasa selama 40 hari 40 malam di padang gurun sebelum memulai pewartaan-Nya (lih. Mat 4:2).
 
1. Mengapa hari Rabu?
Nah, Gereja Katolik menerapkan puasa ini selama 6 hari dalam seminggu (hari Minggu tidak dihitung, karena hari Minggu dianggap sebagai peringatan Kebangkitan Yesus), maka masa Puasa berlangsung selama 6 minggu ditambah 4 hari, sehingga genap 40 hari. Dengan demikian, hari pertama puasa jatuh pada hari Rabu. (Paskah terjadi hari Minggu, dikurangi 36 hari (6 minggu), lalu dikurangi lagi 4 hari, dihitung mundur, jatuh pada hari Rabu).

Jadi penentuan awal masa Prapaska pada hari Rabu disebabkan karena penghitungan 40 hari sebelum hari Minggu Paska, tanpa menghitung hari Minggu.
 
2. Mengapa Rabu “Abu”?

Abu adalah tanda pertobatan. Kitab Suci mengisahkan abu sebagai tanda pertobatan, misalnya pada pertobatan Niniwe (lih. Yun 3:6). Di atas semua itu, kita diingatkan bahwa kita ini diciptakan dari debu tanah (Lih. Kej 2:7), dan suatu saat nanti kita akan mati dan kembali menjadi debu. Olah karena itu, pada saat menerima abu di gereja, kita mendengar ucapan dari Romo, “Bertobatlah, dan percayalah kepada Injil” atau, “Kamu adalah debu dan akan kembali menjadi debu” (you are dust, and to dust you shall return).”

Sumber: Situs Katolisitas
--Deo Gratias--