Selasa, 28 Agustus 2012

Umur? Hanya Tuhan yang tahu

Baca artikel di Ngerumpi.com kemarin isinya tentang seorang sahabat yang berpulang. Di facebook lihat timeline teman isinya juga berita duka cita. Walau tidak mengenal sosok yang berpulang secara personal saya kok merasa semedot juga ya....kayak merasa ada yang hilang juga. Saya mengenal sahabat saya di ngerumpi dari tulisannya. Cerdas dan bermakna. Belakangan baru tahu wajahnya dari foto yang diposting rekan-rekan Ngerumpi setelah dia berpulang. Di facebook yang berpulang itu seorang ibu yang baru saja melahirkan putranya. Bahkan si ibu ini sempat meng-upload foto putra terkasihnya di timeline dan menjawab ucapan sukacita dari kenalannya. Hanya hitungan jam coment di foto itu berubah menjadi ucapan belasungkawa karena ternyata si ibu ini berpulang ke penciptaNya. Dalam seketika, sukacita bercampur baur dengan duka yang mendalam. Siapa yang menyangka?

Maut itu tak dapat kita sangka datangnya. Sering orang mengkait-kaitkan tentang perilaku orang yang akan meninggal dan menyebutnya sebagai isyarat atau pertanda, tapi siapa yang dapat menjamin. Bagi saya kelahiran, jodoh dan kematian adalah misteri Illahi. Sebagai orang yang beriman saya memaknai kematian itu sebagai titik akhir peziarahan manusia di dunia. Melalui kematian kita diingatkan bahwa kehidupan kita di dunia “berlangsung selama waktu tertentu/sementara” dan dalam perjalanan hidup itu kita menjadi tua atau sakit atau celaka dan mati. Itulah kehidupan manusia. Apa yang kita dapatkan dari kenyataan ini? Kematian mengingatkan kita agar kita menggunakan kehidupan kita dengan sebaik mungkin. Hidup bukanlah waktu yang bisa kita sia-siakan dengan semau kita saja.Maut bisa datang kapan saja, tak ada yang pernah tahu kapan dia datang. 

Kematian juga identik dengan kesedihan, bahkan seringkali orang yang ditinggalkan terlalu larut dalam kesedihan karena ditinggalkan orang yang kita kasihi. Itu hal yang manusiawi memang. Tapi, bukankah hidup harus berlanjut. Dia yang meninggalkan kita sudah pulang kepada sang Maha Kasih, tinggal kita di dunia yang masih harus terus melakukan peziarahan kita, sehingga ketika kelak dipanggil kita layak dapat tempat di sisi Nya. Dalam agama yang saya imani kematian itu dimaknai sebagai pulang ke Rumah Bapa. Dan siapa yang tidak suka pulang ke rumah Bapanya? Saya pernah mendengar homili di suatu hari Minggu. Persisnya saya sudah lupa, karena sudah bertahun-tahun yang lalu, semasa saya masih kuliah di Jogja. Pastor itu mengatakan, "semestinya kita bersuka cita saat kematian, saat meninggal nanti saya ingin Misa Requiem yang meriah layaknya sebuah pesta. Karena sukacita saya pulang ke rumah Bapa" ujarnya. Waahhhh....

Sebagai awam pemahaman saya belum setinggi itu, iman saya mungkin masih lebih kecil dari biji sawi :), tapi bukankah iman kita harus terus bertumbuh dari hari kehari. Sehingga kelak saat kita dipanggil olehNya kita bisa bersuka cita karena kita layak dihadapan Nya. Semoga.....


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan jejak disini :)