Senin, 24 September 2012

Tentang keperawanan

Membaca artikel  ini saya jadi ingat nasehat ibu saya tentang keperawanan. Dari mulai masa puber, saat saya mengalami menstruasi pertama, ibu saya selalu mengingatkan dan memberi petuah
"Nduk dadi wong wadon kuwi kudu  ngerti ngajeni awake dhewe. Yen wis kenal kakung ojo gampangan. Sing kenceng pinjunge*. Gusti  wis ngatur, maringake barang kang paling aji kanggo wong wadon kuwi neng panggonan paling ndelik dhewe. Ora neng pucuk driji ben gampang dilucuti utowo ilang, utowo neng rai sing bisa disawang sopo wae. Ojo nganti kowe keduwung tembe mburine."
Artinya:
"Nak jadi perempuan harus bisa menghargai diri sendiri. Kalau sudah mengenal lelaki jangan gampangan. Dijaga pribadinya. Tuhan sudah mengatur, meletakkan apa yang paling berharga bagi wanita (red:keperawanan) di tempat yang paling tersembunyi. Bukan diujung jari sehingga gampang diambil atau hilang, ataupun di wajah untuk jadi konsumsi publik. Jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari."
Itu wejangan yang tak bosan-bosannya disampaikan ibu saya dan sangat membekas dihati yang mengakibatkan saya menjadi orang yang  konservatif (a.k.a kuno??) waktu pacaran.

Menurut saya menjaga keperawanan atau tidak itu pilihan. Tetapi saya memilih untuk meneruskan petuah ini kepada anak gadis saya kelak.

*pinjung = kain


#pernah dipublikasikan di ngerumpi.com

Tak ada yang abadi

Semalam adalah 7 hari meninggalnya sahabat saya. Kami mengadakan doa arwah untuknya, supaya perjalanannya menuju keabadian lancar adanya. Dalam renungan yang disampaikan oleh prodiakon (yang memimpin ibadat) disinggung betapa hidup kita di dunia ini sementara, bahwa pada akhirnya semua orang akan mati. Itu sudah harga mati, tidak bisa ditawar lagi. Bahkan bagaimana cara kita mati pun adalah rahasia Ilahi. Semua orang yang sudah mengerti (kecuali anak-anak) pasti tahu bahwa hidup di dunia ini cuma sementara, mung mampir ngombe (cuma mampir minum), tak ada yang abadi. Pepatah jawa mengatakan
 ' Bandha titipan, nyawa gadhuhan, pangkat sampiran '
Arti harafiahnya adalah Harta itu cuma titipan, nyawa itu pemberian, dan pangkat hanyalah sementara. 

Tak ada yang abadi, karena pada akhirnya hanya roh kita yang akan menghadap ke hadirat-Nya. Lantas Kalau begitu apa tujuan kita hidup? Keyakinan saya, manusia hidup pasti punya misi, sesederhana apapun, entah kita sadari atau tidak. Kita hidup untuk mempersiapkan layak tidaknya kita dihadapan-Nya. Pada saatnya nanti kita harus mempertanggungjawabkan semua perkataan, perbuatan dan apapun yang kita lakukan di dunia ini. Lalu bagaimana dengan bayi yang lahir terus mati atau malah belum sempat lahir (keguguran misalnya). Hey...bayi itu punya keluarga kan? Atau minimal seorang ibu. Jadi atau tidaknya dia hadir di dunia ini setidaknya akan berdampak pada orang-orang di sekitarnya, mengubah orang-orang di sekitarnya. Karena pada dasarnya, kejadian yang kita alami, sekecil apapun saya yakin akan mengubah diri kita, sadar atau tidak.

Jumat, 21 September 2012

Songong....upsss

Beberapa waktu yang lalu saya pergi ke supermarket. Biasa, emak-emak belanja bulanan #halah dibahas :p Karena males ribet kalau bawa anak-anak, saya belanja sendirian sepulang kerja. Pas sampai di bagian buah,  mata langsung tertuju ke tumpukan buah mangga gedong nan ranum yang warnanya benar-benar eye catching, pinky yellow yummy gitu deh pokoknya. Beberapa ibu terlihat sedang asyik memilih ketika saya mulai gabung di kerumunan. Ga berapa lama turut gabung seorang ibu dengan anak gadisnya yang masih ABG. Mereka memilih sambil cerita dan komentar ke warna buah nan menggoda. Bertanyalah si anak ke ibunya. 
"Warnanya menarik gini, manis ga ya mah rasanya...."
Si mamah belum sempat menyahut ketika seorang ibu lain yang tadinya berdiri disamping saya menyahut kata-kata si anak sambil berlalu ke timbangan.
"Kalau manis ya namanya bukan mangga....gula kali."
Kami senyum-senyum saja mendengarnya.
"Apa mah katanya?" tanya si anak.
Si mamah mengulang perkataan ibu yang tadi.
"Ih...dasar songong, siapa juga yang ngomong sama dia," kata si anak sewot. Si mamah hanya tertawa menggapi kesewotan anaknya.
Upss...... Untung aja ibu yang tadi ga dengar, kalau dengar bisa jadi ribut kan....secara orang tua dikatain songong hahahaha... Hal sepele yang bisa bikin ga enak suasana. 
Moral yang saya petik adalah, ga usah deh nyampurin urusan orang lain, apapun itu. Kalau memang harus dan terpaksa, lakukan dengan lebih simpatik. Salah-salah nanti di bilang songong. Ga mau kan? Saya sih ogah!

Penampilan, pentingkah?

Ada ungkapan dalam bahasa jawa "Ajining rogo soko busono" yang arti harafiahnya kurang lebih adalah kita dihargai dari cara kita berpakaian (penampilan). Mungkin ini ada hubungannya dengan kebiasaan manusia untuk menilai sesamanya pertama kali dengan melihat penampilan luar. Tidak bisa dipungkiri bahwa kesan pertama yang bisa dinilai dengan panca indera kita adalah penampilannya, caranya berpakaian, maka dari itu penampilan adalah hal yang penting. Penampilan yang bagus itu sebenarnya cara kita mengapresiasi diri sendiri dan mendorong orang lain melakukan hal yang sama.

Penampilan yang bagus tidak harus wah, yang penting sopan dan sesuai dengan event, jangan sampai salah kostum. Ke kondangan memakai kaos misalnya atau malah ke mall memakai kebaya. Bukan tidak pantas sih, tapi seringkali salah kostum itu memalukan, membuat kita tidak nyaman karena menjadi pusat perhatian.

Penampilan memang penting, tapi bukan segalanya. Penampilan yang oke menjadi tidak berarti jika tidak didukung dengan attitude yang baik pula. Kemampuan kita untuk menempatkan diri juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari penampilan. Maka dari itu kursus kepribadian bisa menjadi pertimbangan bagi seseorang yang ingin memberi nilai plus pada penampilannya. Penampilan oke, kepribadian menawan siapa coba yang ga tertarik? But above all, buat saya pribadi menjadi diri sendiri itu jauh lebih baik :p

Bersyukurlah

Obrolan di suatu pagi, sambil belanja di tukang sayur:
Ibu A  : Harga-harga naiknya bener-bener dah, sampe bingung muter duitnya.
Ibu B  : Iya nih... apalagi tanggung bulan begini, pusing mau masak apa. Semua mahal. Mama Nico mah  
             enak, kagak ada tanggung bulan, yang kemarin juga masih ada kan?
Saya   : Amiiiin...... (sambil tersenyum)
Ibu B  : Lha iya...enak pan dua-duanya kerja. Ga kayak kita, cuma ngandelin penghasilan suami.
Saya   : Amiiiin deh bu, mudah-mudahan ga pernah habis rejeki saya.

Hey....don't they know? There always bad times and good times in our life, specificly in our financial life, but I don't have to share with everyone. Kadang ingin saya balas perkataan semacam itu dengan penjelasan panjang lebar, tapi buat apa? Hidup itu sawang sinawang, mungkin menurut kita tetangga kita lebih beruntung dari kita, tapi kita tidak tahu dan tidak merasakan kesulitan mereka. 

Saya bekerja dan mendapat penghasilan tambahan untuk keluarga saya, itu membuat orang memandang saya tidak pernah kekurangan uang. Tapi tidakkah mereka berpikir, harga yang harus saya bayar untuk kenyamanan itu? Saya harus kehilangan waktu berharga saya bersama anak-anak, yang bagi saya tidak bisa ditukar dengan materi. Saya harus menangis dalam hati manakala anak sakit sementara saya harus tetap bekerja, sementara hati saya tertinggal dirumah. Pengeluaran saya pun bisa jadi dua kali lipat dari mereka karena saya harus membayar orang yang menjaga anak-anak sementara saya bekerja.Kenapa orang cenderung untuk melihat dan menginginkan kelebihan orang lain daripada mensyukuri apa yang sudah mereka terima?

Andai mereka tahu cita-cita saya. Saya ingin jadi ibu rumah tangga seperti mereka, tapi saya ingin tetap punya penghasilan, karena saya ingin menyekolahkan anak saya di tempat terbaik menurut ukuran saya, memberikan semua yang terbaik untuk mereka. Saya tidak ingin kehilangan momen berharga pertumbuhan buah hati saya, tapi untuk sekarang inilah yang terbaik yang bisa saya lakukan. Puji Tuhan saya selalu merasa cukup. Saya senantiasa bersyukur atas apa yang saya terima. Rasa syukur itu terwujud dalam setiap perbuatan saya, salah satunya adalah tidak mengeluh walaupun kondisi finansial saya memburuk. Dan bagi orang lain, bisa jadi itu terlihat seperti saya tidak pernah kesulitan keuangan. Amiiin....semoga. Ah kayaknya tulisan saya kali ini agak emosional. Pada dasarnya rumput tetangga memang kelihatan lebih hijau ya.....

Kamis, 20 September 2012

Balasan Surat Untuk Takita

Takita sayang, bunda terharu membaca suratmu. Andai kedua buah hati bunda sudah bisa membuat sebuah surat, barangkali surat seperti inilah yang akan dia tulis. Suratmu itu sentilan buat bunda, yang seringkali, dengan seribu satu alasan, tidak membawakan cerita untuk kedua buah hati bunda. Oya, bunda punya dua buah hati yang lucu. Nico, si ganteng yang baru berumur 4.5 tahun dan Vellyn adiknya yang masih berusia 1 tahun. Seringkali karena lelah bekerja, bunda langsung mengajak mereka tidur tanpa bercerita.

Semasa bunda kecil, bapak bunda adalah sosok tokoh idola bagi bunda. Kenapa? Karena beliau mahir bercerita. Bunda masih ingat cerita favorit bunda. Namanya mbak umbul. Tahukah kamu sayang, mbak umbul itu dongeng Timun emas versi bapak bunda. Beliau memang paling bisa mengubah dongeng yang sudah ada menjadi lebih menarik bagi kami anak-anaknya. Dongeng yang pernah bunda dengar semasa kecil itu seringkali bunda ceritakan kepada Nico dan Vellyn sekarang.

Takita sayang, bunda ingat bagaimana berbinarnya mata Nico ketika bunda membaca cerita pooh, tokoh kesayangannya, atau ketika bunda bercerita tentang si kancil yang cerdik, atau cerita tentang pahlawan yang pemberani. Bagaimana bersemangatnya dia menirukan tokoh yang bunda ceritakan, dan tawa riangnya kala menganggap cerita bunda lucu. Melihat binar matanya, melihat tawa cerianya itu sangat membahagiakan bagi kami orang tua, nak.

Takita sayang, bunda ingin anak-anak bunda tumbuh menjadi anak yang ceria, bersemangat dan percaya diri. Dan cerita adalah cara yang paling menyenangkan untuk menumbuhkannya. Oleh karena itu bunda berjanji akan menghidupkan cerita untuk anak-anak bunda, menyempatkan waktu untuk  bercerita dan mendengarkan imaginasi serta impian mereka. Terima kasih ya nak, suratmu yang mewakili suara hati mereka, mengingatkan bunda.

Takita manis, teruslah bermimpi nak. Barangkali mimpimu adalah mimpi seluruh anak Indonesia, atau bahkan seluruh anak di dunia.Semoga suratmu bisa mengingatkan kami para orangtua untuk tak terlalu egois dan mengerti kebutuhan anak kami akan cerita dan kasih orang tua daripada sekedar kebutuhan materi semata.
Salam sayang
Bunda




 # Dukung Indonesia bercerita (@IDcerita). Mari jadikan dunia lebih baik dengan bercerita. Indonesia Bercerita

Rabu, 19 September 2012

Arisan

Pernah ikut arisan? Pasti pernah dong....(maksa :D) Saya sering. Entah itu di dalam keluarga, di lingkungan tempat tinggal atau bahkan di kantor. Nominalnya bermacam-macam, ada yang puluhan ribu, ratusan ribu, atau bahkan sampai jutaan. Jumlah nominal itu menurut saya ditentukan juga oleh motif diadakannya arisan. Untuk arisan RT misalnya, tujuannya adalah untuk lebih mendekatkan dan mengakrabkan dengan lingkungan se RT maka dari itu biasanya nominalnya tidaklah besar mengingat kemajemukan tingkat ekonomi warga yang tinggal di situ. Arisan keluarga juga begitu, besarnya nominal adalah kesepakatan seluruh keluarga yang terlibat, biasanya juga tidak besar mengingat tujuannya lebih ke menjalin silaturahmi. Ga lucu jadinya jika satu keluarga tidak ikut arisan hanya karena tidak bisa menanggung besarnya uang arisan. 

Saya bukan penggemar arisan, tapi bukan berarti saya anti. Memang sih, arisan ibu-ibu itu kadang cenderung menjadi ajang pamer dan gosip. Ya pamer keluarga, pamer kekayaan, atau hal-hal lainnya. Nah soal gosip ini lucu lagi. Namanya juga gosip = semakin digosok semakin siip, maka apa aja bisa jadi bahan. Mulai dari anak si anu yang begini, suaminya yang begitu bahkan sampai soal si A beli panci baru pun bisa jadi bahan obrolan. Heran saya, ternyata wanita itu kreatif hahaha.... Saya yang ibu pekerja ini memang cuma jadi pendengar yang baik, yang melongo mendengar gosip yang ada. Ooooo..... hahahaha. Gimana ga, intensitas bergaul saya yang kurang menyebabkan gosip yang saya dengar ya tidak up to date. Bahkan seringkali kok saya merasa dijadikan bahan (ge er).Tapi saya cenderung untuk mengambil sisi positifnya, kalau saya digosipin itu artinya mereka memperhatikan saya. Ya kan?? 

Ibarat dua sisi mata uang, segala hal di dunia ini punya sisi negatif dan positif, begitu juga arisan. Positifnya selain menjalin silaturahmi juga menjadi sarana untuk menabung(untuk yang dapat belakangan) atau mendapat pinjaman tanpa bunga(untuk yang dapat duluan). Ini bagus untuk orang yang boros dan sulit menabung karena seperti dipaksa, mau ga mau kalau ikut arisan ya harus setor. Jadi arisan itu menurut saya baik bagi kesehatan jiwa dan kantong hahaha...... 

Jadi pengin tahu, kalau arisan bapak-bapak apa ya yang di omongin???

In Memoriam - Sahabat terbaikku Widya Sulastrini

Aku belum bisa memicingkan mataku sekejap pun, ketika kabar duka itu menghampiriku pukul 02.30 dini hari. Rasanya tak percaya aku mendengar kabar tentangmu, sahabatku, saudariku. Kau meninggalkanku untuk selama-lamanya. Handphone ku dan suami dalam kondisi mati ketika kamu berpulang, hingga tak ada satupun saudara yang berhasil menghubungi kami. Endak, keluarga yang kami percaya menjaga krucilku yang menyampaikan berita duka itu kepadaku. Tergopoh-gopoh ia menuruni tangga dan menyampaikan berita ini kepadaku yang masih duduk di depan televisi. "Tante, tante Rini sudah meninggal,"katanya. "Hah...tante Rini siapa?"tanyaku spontan. "Rininya om Oscar,"jawabnya. Aku mematung, diam. Pikiranku belum mau mencerna kata-kata itu hingga sejurus kemudian Endak kembali menyadarkanku. "Tante Rini, istrinya om Oscar meninggal tante. Kesadaranku pulih. Berlari aku menuju ke kamar tidur, kubangunkan suamiku. "Pah, ada kabar dukacita, Rini meninggal. Tolong cari tahu kebenarannya." Tak lama kemudian suamiku mulai menghubungi saudara-saudaranya mencari tahu kabar yang terjadi. Aku mulai menangis mendengar dialog suamiku di telpon, aku bisa menerka apa hasilnya meskipun mereka berdialog dalam bahasa Manggarai, bahasa ibu suamiku. Suamiku memelukku sambil memberitahukan kebenaran beritanya, dan menyuruhku untuk bersiap ke rumahmu.

Aku sampai di rumah sakit tempat kamu dibawa setelah anfal. Sudah banyak saudara kita menunggu di sana. Tak bisa kulukiskan betapa sedih hatiku melihatmu terbujur kaku disana. Aku  menangis sejadi-jadinya, memeluk tubuh kakumu yang tak lagi bisa balas memelukku. Mereka sudah selesai mendadanimu sahabatku. Kami segera membawamu kembali ke rumah. Aku memilih untuk menemani suamimu, belahan jiwamu di mobil ambulance. Sepanjang perjalanan, aku yang tidak pandai berkata-kata, tak terlalu bisa menyampaikan kata-kata penghiburan selain mengungkapkan betapa kamu adalah sahabat yang setia, betapa aku begitu bersyukur menjadi sahabatmu dan betapa aku bersedih dan menyesali karena dalam setiap even penting kehidupanmu aku tidak pernah ada disana, padahal dulu ketika aku membutuhkan seseorang kamu ada disana untukku. Isak tangis keluarga memenuhi rumah ketika kami tiba, apalagi ketika jasadmu disemayamkan di ruang tamu. Kak Oscar, suamimu rupanya tidak lagi bisa menahan sedih hatinya dan jatuh tak sadarkan diri. Aku tak bisa menahan diri untuk tidak menangis lagi manakala buah hatimu, Lionel, dibawa untuk melihat jasadmu. Belum genap setahun umurnya, dia masih terlalu kecil untuk mengerti, bahwa ibu yang melahirkannya sudah tiada lagi, tak bisa lagi mendampinginya tumbuh besar. Setelah tenang, adik ipar yang selama ini merawat dan menjagamu mulai bercerita detik-detik kepergianmu. Betapa kamu begitu perhatian dengannya menjelang kepergianmu. Bahkan kamu tidak mau merepotkan suami dan adikmu, dan memilih menahan rasa sakit itu sendirian. Sekali lagi aku mengutuk diriku sendiri yang tidak mampu menjadi sahabat terbaik bagimu. Andai aku bisa disampingmu mungkin kamu akan bercerita kepadaku, seperti dulu, ketika kita melalui hari-hari indah bersama.

Ingatanku kembali melayang. 15 tahun yang lalu, dalam sebuah acara pelatihan kepemimpinan yang diadakan fakultas, kita mulai berkenalan. Pembawaanmu ramah dan riang, berbeda denganku yang cenderung tertutup dan menyendiri, membuat kita seperti panci dan tutup, saling melengkapi. Darimu aku belajar bahwa hidup itu sangat menyenangkan dan harus dinikmati. Aku yang tadinya study minded, mulai membuka diri untuk hal-hal diluar itu. Kamu mengajakku berorganisasi, dimana aku mengenal lebih banyak orang dan punya kegiatan yang positif. Begitu akrabnya kita sampai teman-teman sekampus mengenal kita sebagai duo, dimana ada aku disitu pasti ada kamu, begitu juga sebaliknya. Tawa canda, gelak tawa memenuhi hari-hari kita selanjutnya. Nyaris tidak ada pertengkaran diantara kita. Aku yang anak pertama memahami betul karaktermu sebagai anak bungsu yang manja dan butuh perhatian. Dan kamu tahu betul karakterku yang suka mendikte serta keras kepala. Tapi aku pendengar yang baik, katamu waktu itu.

Ah...waktu memang tidak pernah berpihak pada kita. Aku melaju lebih cepat darimu. Ketika aku gagal ujian pendadaran pertama kali ada kamu disana, menyediakan bahumu untukku menangis. Memberi semangat dan motivasi supaya aku bisa lulus ujian berikutnya. Dan akhirnya aku lulus lebih dulu dari kamu. Masih terbayang dipelupuk mataku, hari ketika aku dinyatakan lulus ujian pendadaran. Kamu dan teman-teman yang lain menungguku diluar dengan harap-harap cemas. Dan ketika aku keluar ruangan dengan senyum mengembang, kau mulai bertanya dengan tak sabar dan kita melompat kegirangan seperti anak kecil ketika aku bilang aku lulus. Kau juga turut sibuk menyiapkan wisudaku. Kesana-kemari mencari salon yang akan aku pakai, juga mengurus administrasi ini itu. Hingga akhirnya hari perpisahan itu tiba, aku sudah selesai dan harus melanjutkan hidupku, merantau di belantara ibukota. Sementara dirimu masih harus berjuang menyelesaikan studi. Kita trus berhubungan, meski tidak seintensif dulu. Setelah luluspun kau lebih memilih bekerja di Semarang. 

Suatu hari kita bicara lewat telepon, kau ungkapkan kegundahanmu akan jodoh yang tak kunjung datang. Dan aku bertanya kepadamu, bolehkan aku beri nomer teleponmu andai ada teman atau saudaraku yang berniat sama denganmu. Kau bilang tidak keberatan. Tuhan memang sudah mengatur segalanya. Saudara sepupu suamiku yang masih bujangan sedang mencari seorang istri yang siap menikah. Akhirnya aku memberikannya nomer teleponmu kepadanya, dengan seijinmu tentunya. Dan dengan ijin Tuhan hubunganmu berlanjut sampai ke pelaminan. Waktu kamu menikah, anakku sedang kurang sehat sehingga hanya suamiku yang menyaksikan janji suci kalian yang dilangsungkan di kota kelahiranmu, Wonogiri. Sahabat terbaikku menjadi kakak sepupuku.

Hidup terus berjalan. Beberapa bulan setelah menikah kaupun hamil. Dan aku juga dalam kondisi hamil ketika itu. Dua bulan jarak kehamilan kita, aku lebih dulu. Kita jarang bertemu, karena keadaan itu. Aku dengar kamu mulai sakit-sakitan. Pre eklampsia, itu diagnosa dokter untukmu waktu itu. Sekali waktu kita pernah ktemu, di arisan keluarga kita, kau jauh berubah dari yang kuingat dulu. Kau kelihatan lelah dan tak bersemangat, jauh lebih pendiam. Mana semangatmu? Tanyaku waktu itu. Mungkin karena kehamilan berat yang kau alami. Aku memotivasimu, aku bilang obat yang paling mujarab untuk segala penyakit adalah semangat kita, kemauan kita untuk melawan penyakit itu. Kau hanya tersenyum menanggapi kebawelanku. Kemudian kita bercerita tentang masa lalu, tertawa kembali mengingat kekonyolan kita. 

Tanggal 22 Oktober 2011, seorang bayi mungil terlahir dari rahimmu, walau harus dengan operasi caesar. Bayi laki-laki yang lucu, kalian memberinya nama Lionel Siswanto Anam. Lionel karena bapaknya penggemar berat Lionel Messi bintang Barca yang terkenal itu, Siswanto adalah nama Bapak Wonogiri, sedang Anam adalah nama keluarga suamimu. Lengkap sudah kebahagiaan keluarga kecilmu. Namun tak berlangsung lama karena bapak yang sangat kau sayangi akhirnya dipanggil Tuhan lebih dulu karena diabetes. Aku tahu itu sangat menyedihkan bagimu, mengingat kedekatanmu dengan beliau. Suatu hari saat bertemu aku pernah mengingatkanmu untuk menjaga pola makan, mengingat kita ini adalah keturunan penderita diabetes. Bapakmu dan ibuku adalah penderita diabetes, kata orang itu penyakit degeneratif alias menurun. Aku tahu betul kebiasaanmu dulu, penggemar kuliner, kebiasaan yang sangat beresiko untuk kita. Didukung cerita adik iparmu mengenai kebiasaanmu makanmu yang semakin menjadi.

Hari demi hari kesehatanmu terus menurun, hingga suatu hari kamu harus dilarikan kerumah sakit. Jantungmu bengkak, tensimu tinggi dan dalam paru-parumu terdapat cairan. Hari-hari setelah itu mungkin adalah hari menyakitkan bagimu. Dan bodohnya aku, aku tak ada disana untukmu. Aku terlalu sibuk dengan urusanku sendiri hingga tak menyadari sahabat tercintaku sangat membutuhkanku. Tetapi Tuhan sangat mencintaimu, Ia memberimu adik ipar yang kuat dan tegar. Yang dengan kesabarannya merawatmu dan anakmu, hingga saat terakhirmu. 

Selamat jalan sahabatku, sugeng tindak Rin.... Tuhan yang mahacinta tidak membiarkanmu menderita lebih lama. Tuhan pasti telah menyiapkan tempat terbaik untukmu di sana, di tempat kehidupan abadi. Kami yang kau tinggalkan masih harus terus melanjutkan peziarahan kami di dunia ini, hingga suatu saat kami pasti akan menyusulmu. Tidak ada yang sia-sia dalam hidupmu, lihatlah begitu banyak teman dan sahabat yang kehilangan kamu. Dan lihatlah Lionel buah hatimu, prasasti hidupmu yang akan terus tumbuh menjadi laki-laki yang kuat. Kami menyayangimu, dan selama kami hidup, kenangan tentangmu akan terus hidup. Rest in Peace my dearest friend, beristirahatlah dalam damai Tuhan.

“……jikalau kita percaya bahwa Yesus telah mati dan telah bangkit, maka kita percaya juga bahwa dengan perantaraan Yesus, Allah akan mengumpulkan bersama-sama dengan Dia mereka yang telah meninggal” (1Tes 4:14).
  “Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita. “(Roma 8:38-39)

 * Dedicated to my dearest Friend : Lucia Maria Widya Sulastrini (Lahir: 13-12-1977, Wafat : 17-09-2012)

Jumat, 14 September 2012

Learning by Doing

Banyak hal dalam kehidupan ini yang 'memaksa' kita untuk melakukan hal itu. Saya sendiri misalnya, belajar masak ya learning by doing setelah menikah, wong semasa masih gadis saya jarang sekali dan cenderung ogah untuk berurusan dengan yang namanya dapur. Paling banter ya masak telur dadar sayuran kesukaan saya atau mie instan. Waktu masih tinggal dengan orang tua, ibu terlalu memanjakan saya sehingga urusan memasak beliau handle sendiri (ato jangan-jangan takut saya mengacau kali ya.....). Eits tapi sekali waktu saya terpaksa memasak juga, karena ibu harus menginap di rumah simbah di kota lain. Dan kata bapak saya masakan saya enaaak.... Entah enak beneran atau cuma pengin biar anak wedoknya ini rajin masak, saya juga ga tahu persis. Yang pasti pujian itu tidak mempan hahaha.....

Setelah saya terjun di dunia perdapuran yang awalnya karena kepepet itu, ternyata masakan saya kok ya ga terlalu memalukan. Terbukti setiap ketempatan arisan keluarga, masakan saya laris manis. Jadi peribahasa 'alah bisa karena biasa' itu benar adanya. Learning by doing juga saya lakukan dalam mengurus anak. Karena jarak umur saya dengan adik-adik itu terlalu dekat jadi saya tidak pernah mengalami yang namanya momong adik. Yang ada saya malah bertengkar dengan mereka hahaha.... Alhasil waktu punya anak pertama kali dan ga ada saudara yang bisa dimintai tolong untuk mengajari saya tetek bengek tentang mengurus anak, saya belajar sambil jalan, sambil praktek langsung. Tentu saja saya banyak membaca sebagai landasan pengetahuan saya, tapi prakteknya kan lebih complicated ya dari yang kita baca.

Pada akhirnya saya memang bisa bilang bahwa bisa atau tidak bisa itu bukan tergantung sepenuhnya pada kemampuan kita tetapi lebih pada kemauan kita untuk belajar dan melakukan. Orang yang mampu itu belum tentu mau, tetapi orang yang mau pasti mampu walaupun memang harus melalui proses belajar (learning) itu tadi. Dan saya rasa ini berlaku untuk semua hal. Jadi keep learning. Bukankah hidup itu sendiri pada hakekatnya adalah pembelajaran?

Kamis, 13 September 2012

Bagaimana supaya konsisten menulis???

Ternyata susah juga untuk memenuhi janji saya kepada diri saya sendiri tentunya, untuk ngeblog secara konsisten. Apa susahnya? Ya adaaa aja. Ketika lagi punya ide tulisan eh...lagi ga sempat nulis, tapi ketika lagi ada waktu buat nulis malah bingung karena ga punya ide. Jadi hasilnya ya ini nih...blog yang tidak konsisten alias angot-angotan. Padahal inginnya saya ya ada jejak yang saya tinggalkan di setiap fase kehidupan saya, entah itu tentang saya atau opini saya. Syukur-syukur sehari sekali bisa publish tulisan. Jadi suatu ketika, mungkin saat saya sudah senja usia masih bisa senyam-senyum membaca kekonyolan atau kebodohan saya di masa sekarang. Memang keinginan itu harus dibarengi dengan effort supaya tidak dibilang omdo alias omong doang atau nido alias niat doang.

Lha solusinya gimana ya? Ternyata saya sudah nemu. Lihat tulisan yang ini .Cikal bakal tulisan ini sudah lama sekali saya simpan di draft tulisan. Hanya judulnya saja. Iya...judul saja tanpa isi. Dan ternyata saya tidak terlalu kesulitan untuk mengembangkannya menjadi sebuah tulisan karena ketika saya membaca judul ini di draft saya, saya seperti me recall ide-ide yang muncul ketika itu. Dan tangan saya dengan lincahnya bisa menari di atas keyboard, merangkainya menjadi tulisan. Perlu terus latihan untuk mengasah kemampuan atau kegemaran menulis saya dan saya gembira menemukan cara ini. Bagaimana dengan kamu?


Emosi negatif itu menguras energi

Orang yang memendam amarah itu lelah lahir batin. Ga percaya? Coba saja. Ada satu cerita yang pernah saya baca. Saya lupa darimana sumbernya, mungkin salah satu note di facebook. Jadi ceritanya begini. 
Ada seorang biarawati(suster). Beliau ini masih muda, suatu hari dokter memvonisnya sakit parah hingga diprediksi umurnya tidak akan lama lagi. Sebagai orang yang hidup di dunia modern suster ini berusaha mencari pengobatan secara medis sampai kemana-mana.Dan penyakitnya tidak juga mereda. Hingga suatu hari ia mengikuti Misa penyembuhan di salah satu tempat peziarahan Bunda Maria di Bandung.Di tengah-tengah Misa tiba-tiba pastor yang memimpin misa menunjuk padanya. Dan berkata dengan lemah lembut agar ia memaafkan orangtuanya, mengampuni dan berdamai kembali dengan mereka. Suster itu hanya menangis, ternyata selama hidupnya dia memendam luka jiwa karena perlakuan bapaknya, yang meninggalkannya semasa masih kecil. Ia tumbuh dewasa tanpa figur seorang bapak. Luka jiwa itu terus dipendamnya hingga saat itu. Pulang dari misa ia terus merenungkan perkataan pastor itu. Kemudian dengan kebesaran hatinya mulai memaafkan dan berdamai dengan masa lalunya, mencari tahu kabar tentang bapaknya dan akhirnya mengunjungi orang tua yang sudah di penghujung usianya yang akhirnya bisa meninggalkan dunia dengan tenang membawa maaf dari putri yang ditelantarkannya. Dan ajaibnya suster itu perlahan-lahan mulai sehat kembali. Segala penyakit yang dideritanya seakan musnah bersama dendam masa lalunya.
Cerita diatas salah satu bukti, betapa memendam amarah itu bukan saja bisa membuat kita lelah secara batin, tapi juga menyakiti raga kita secara tidak langsung. Memang susah ya melupakan kesalahan orang lain apalagi bila itu sangat berdampak dalam kehidupan kita. Walau pada dasarnya saya orang yang tidak terlalu ambil pusing dengan orang yang menyakiti saya tapi ada suatu masa dimana saya mengalami , betapa susahnya memaafkan kesalahan orang yang menyakiti saya. Sangat menguras emosi dan energi bila mengingat betapa teganya dia menyakiti saya. Tapi ketika saya mencoba untuk mengikhlaskannya, mungkin belum sepenuhnya saya bisa memaafkan, tapi hati saya terasa lebih lega. Emosi negatif itu memang menguras energi jadi sebaiknya memang dilepaskan. Untuk hal-hal sepele, mengomel itu cara saya untuk melepaskan emosi, tapi sebenarnya ga bagus juga sih hehehe....soalnya jadi memberi emosi negatif ke orang yang saya omelin. Atau pakai cara sepupu saya yang memilih teriak di kamar mandi untuk melepaskan emosinya. Pokoknya jangan dipendam ya....nanti jadi penyakit.

OASE

Melihat bening matamu serasa membasuh muka di air kehidupan
Mendengar celotehmu menyiram nurani dan jiwaku yang layu memburu waktu

Tahukah anakku sayang?
Kalian adalah pelepas dahaga
Ketika raga nyaris putus asa
Ketika jiwa nyaris menggila
Kalian adalah oase bagiku di tengah padang pasir kehidupan

Jamkesmas oh Jamkesmas.....

Tempo hari salah satu OB di kantor datang ke meja kerja saya dan bertanya apakah saya sibuk. Ternyata beliau ini mau meminta tolong untuk scan dan print ulang Kartu Jamkesmas atas nama adiknya. Katanya adiknya sakit dan harus dirawat ke rumah sakit, waktu mau urus Jamkesmas ada kendala karena ternyata tanggal lahirnya beda dengan yang tertera di KTP. Lho kok bisa.....itu pertanyaan pertama saya. Dasar pembuatan Jamkesmas itu kan harusnya ya tanda pengenal aka KTP ya..... Lah kasian kan kalau hanya karena beda tanggal dengan identitas diri, mengurus Jamkesmas jadi susah. Belum kalau urgent, pasien harus segera mendapat penanganan.

Untuk pasien yang melek huruf mungkin bisa protes seandainya ada perbedaan antara KTP dan Kartu Jamkesmasnya, kalau yang buta huruf bagaimana? Padahal kan sasaran Jamkesmas itu terutama warga miskin yang kemungkinan sebagian besar masih buta huruf (eh...ini bukan underestimate ya....hanya berusaha jujur, secara si mba nya Nick yang pertama dulu juga  buta huruf). Lagi-lagi urusan birokrasi yang berbelit di negeri tercinta ini memang bisa jadi runyam. Kesannya jadi kayak dipersulit untuk ngurus Jamkesmas. Padahal niat pembuatan program ini tentunya luhur dan mulia, untuk menjamin kesehatan warga kurang mampu. Saya yang berada di luar lingkaran sistem itu ya hanya bisa menghimbau dan berdoa. Semoga ke depannya pemerintah bisa lebih baik lagi melayani warganya.


Selasa, 04 September 2012

Sok Suci? Masak sih....

Saya pemakai facebook, aktif, tapi jarang update status kecuali share note dari beberapa page rohani yang saya ikuti. Tempo hari saya dengar celetukan anak ABG, waktu lagi belanja di salah satu hypermarket.
"Ih...males banget tahu...statusnya itu lho sok suci, sok iye banget padahal mah en de bla en de bla.............."
Plaaaakkk! Lha kok saya berasa disindir yah....secara ya itu tadi, saya slalu share notes-notes dari page rohani, kadang diimbuhin kadang just share. Jangan-jangan dari sekian teman di friend list saya ada yang bilang/berpikir begitu tadi.

Bisa dibilang postingan ini pembelaan saya terhadap apa yang saya share di facebook. Saya bukan sok suci, saya juga ga fanatik. Saya hanya ingin mendoktrin diri saya sendiri. Gampangnya saya ingin slalu menutrisi nurani saya, iman saya, dengan sesuatu yang rohani, yang memperkaya hati dan ingin cerita itu slalu tersimpan di akun saya, sebagaimana saya ingin moral cerita tersebut slalu mangkal dan meracuni hati saya (ceileeee...).Yah....yang di posting di beberapa page rohani itu tentu saja renungan rohani, yang dibalut atau diilhami dari berbagai cerita. Dengan posting notes itu di wall saya, kelak ketika saya membuka facebook notes notes itu akan tetap tersimpan di akun saya dan saya gampang mencarinya kapan saja ketika menginginkannya. Beda kalau saya cuma membaca, brapa jauh sih ingatan kita, suatu saat pasti lupa. Entah itu lupa detail ceritanya atau lupa siapa yang memposting cerita tersebut.

Jadi apa masih disebut sok suci? Terserah wae lah....Toh cerita yang saya share itu intinya mengajarkan kebaikan, dan tentunya saya juga ga bakal ngaku-ngaku jadi aktor dibalik cerita tersebut. Kalaupun teman-teman facebook saya jadi "terpaksa" baca postingan saya dan tidak berkenan ya maafkeun. Kalau ga mau baca, kan tinggal di hide aja dari newsfeed. Klik di pojok kanan, trus pilih hide. Gampang kan....gitu aja kok repot.