Jumat, 31 Agustus 2012

Cerita di Suatu Sore

Suatu sore
Abang sayur yang meliburkan diri beberapa hari ini sungguh merepotkan saya. Secara dalam komplek saya yang kecil ini tidak ada tukang sayur, kalau mau ya keluar komplek. Tapi rupanya saya sudah terbiasa dimanjakan dengan adanya tukang sayur yang lewat tiap pagi,sehingga rasanya malas sekali belanja keluar komplek pagi-pagi. Jadinya mau ga mau saya harus ke pasar sore harinya. Biasanya saya juga ke pasar tapi ditemani suami malam hari, namun kali ini karena persediaan di kulkas sudah bener-bener habis dan suami ga bisa menemani jadinya ya belanja sendiri saja.

Jam lima tenggo dari kantor, berangkatlah saya ke pasar. Hmmm sampai sana masih belum terlalu rame, karena biasanya pedagang baru bongkar muatan malam hari. Celingak-celinguk cari-cari lalapan favorit suami saya, Timun. Ceritanya mulailah saya beraksi memilih-milih, menimbang-nimbang dan berjalan kesana kemari mencari bahan yang saya butuhkan. Selang tidak berapa lama saya berpapasan dengan seorang anak kecil yang menawarkan kantong plastik. Dan saya membeli satu kantong plastik yang muat belanjaan saya dan.....saya mulai keliling lagi. Kira-kira habis maghrib anak kecil yang dari tadi berdiri di samping saya, yang kayaknya sudah sedari tadi memperhatikan saya yang kerepotan dengan kantong belanja, menawarkan untuk membawakan belanjaan saya. Belakangan saya tahu namanya Didin.

"Bu, saya bawain ya belanjaannya....ya bu ya ,"ucapnya menghiba.
"Kamu kuat?" tanya saya sambil memperhatikan posturnya yang kecil. "Badan kamu kan kecil," sambung saya
Dengan sigap langsung diangkatnya kantong belanjaan yang saya taruh didekat kaki ketika memilih sayuran sambil berucap, "Kuat kok, sini bu," katanya sambil meminta belanjaan yang saya tenteng.
"Eh, yang ini biar ibu aja yang bawa ya. Nama kamu siapa?"
"Didin," jawabnya pendek.
Saya jadi ingin tahu lebih banyak tentang anak ini. Sambil meneruskan belanja saya ngobrol dengannya, atau lebih tepatnya saya banyak bertanya tentang dia.
"Rumah kamu dimana?"
"Jonggol"
" Hah Jonggol?" tanya saya setengah tak percaya. "Naik apa kamu ke sini, sama siapa?"tanya saya.
"Naik angkot,sama teman."
Sekedar informasi Jonggol-cileungsi itu jarak yang lumayan jauh lho. Sudah mulai malam lagi.
"Kamu sekolah?"
"Iya"
"Kelas berapa?"
"Kelas enam"
"Wah, udah UAN dong kemarin," kataku. "Bisa ga?"
Didin cuma tersenyum.
"Kamu nyari uang gini buat apa?"
"Buat nerusin sekolah."
"Lha emang orangtuamu kemana?" (Kemudian baru saya sadari pertanyaan saya ini begitu naif)
"Ada"
"Bapakmu kerja apa?"
"Kuli bangunan"
"Mama?"
"Ga kerja, adik saya ga ada yang jagain."
"Emang adikmu ada berapa?"
"Ada tiga"

Oh...I see. Saya jadi speechless. Saya mulai mengagumi anak kecil yang menenteng belanjaan di belakang saya ini. Pembawaannya lugu, tapi bersih. Cara bertutur dan tindak-tanduknya santun. Dan dia sangat tahu diri, selalu mengulurkan tangannya ketika penjual memberikan barang belanjaan saya. Justru saya yang merasa tidak tega, merasa miris dan terenyuh dalam hati. Saya juga mempunyai anak laki-laki, tapi tentunya saya tidak akan mengijinkannya bekerja seperti itu. Apalagi di usianya yang seharusnya masih senang bermain. Dan saya juga yakin orangtuanyapun tidak akan tega melihatnya bekerja seperti itu, andai mereka mampu. Tapi kerasnya hidup rupanya sudah membuat Didin jauh lebih dewasa dari umur dan posturnya.
Satu lagi pelajaran hidup buat saya. Ah, semoga kelak kamu jadi orang yang sukses ya Din.

*Gambar dari Google

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan jejak disini :)