Rabu, 19 September 2012

In Memoriam - Sahabat terbaikku Widya Sulastrini

Aku belum bisa memicingkan mataku sekejap pun, ketika kabar duka itu menghampiriku pukul 02.30 dini hari. Rasanya tak percaya aku mendengar kabar tentangmu, sahabatku, saudariku. Kau meninggalkanku untuk selama-lamanya. Handphone ku dan suami dalam kondisi mati ketika kamu berpulang, hingga tak ada satupun saudara yang berhasil menghubungi kami. Endak, keluarga yang kami percaya menjaga krucilku yang menyampaikan berita duka itu kepadaku. Tergopoh-gopoh ia menuruni tangga dan menyampaikan berita ini kepadaku yang masih duduk di depan televisi. "Tante, tante Rini sudah meninggal,"katanya. "Hah...tante Rini siapa?"tanyaku spontan. "Rininya om Oscar,"jawabnya. Aku mematung, diam. Pikiranku belum mau mencerna kata-kata itu hingga sejurus kemudian Endak kembali menyadarkanku. "Tante Rini, istrinya om Oscar meninggal tante. Kesadaranku pulih. Berlari aku menuju ke kamar tidur, kubangunkan suamiku. "Pah, ada kabar dukacita, Rini meninggal. Tolong cari tahu kebenarannya." Tak lama kemudian suamiku mulai menghubungi saudara-saudaranya mencari tahu kabar yang terjadi. Aku mulai menangis mendengar dialog suamiku di telpon, aku bisa menerka apa hasilnya meskipun mereka berdialog dalam bahasa Manggarai, bahasa ibu suamiku. Suamiku memelukku sambil memberitahukan kebenaran beritanya, dan menyuruhku untuk bersiap ke rumahmu.

Aku sampai di rumah sakit tempat kamu dibawa setelah anfal. Sudah banyak saudara kita menunggu di sana. Tak bisa kulukiskan betapa sedih hatiku melihatmu terbujur kaku disana. Aku  menangis sejadi-jadinya, memeluk tubuh kakumu yang tak lagi bisa balas memelukku. Mereka sudah selesai mendadanimu sahabatku. Kami segera membawamu kembali ke rumah. Aku memilih untuk menemani suamimu, belahan jiwamu di mobil ambulance. Sepanjang perjalanan, aku yang tidak pandai berkata-kata, tak terlalu bisa menyampaikan kata-kata penghiburan selain mengungkapkan betapa kamu adalah sahabat yang setia, betapa aku begitu bersyukur menjadi sahabatmu dan betapa aku bersedih dan menyesali karena dalam setiap even penting kehidupanmu aku tidak pernah ada disana, padahal dulu ketika aku membutuhkan seseorang kamu ada disana untukku. Isak tangis keluarga memenuhi rumah ketika kami tiba, apalagi ketika jasadmu disemayamkan di ruang tamu. Kak Oscar, suamimu rupanya tidak lagi bisa menahan sedih hatinya dan jatuh tak sadarkan diri. Aku tak bisa menahan diri untuk tidak menangis lagi manakala buah hatimu, Lionel, dibawa untuk melihat jasadmu. Belum genap setahun umurnya, dia masih terlalu kecil untuk mengerti, bahwa ibu yang melahirkannya sudah tiada lagi, tak bisa lagi mendampinginya tumbuh besar. Setelah tenang, adik ipar yang selama ini merawat dan menjagamu mulai bercerita detik-detik kepergianmu. Betapa kamu begitu perhatian dengannya menjelang kepergianmu. Bahkan kamu tidak mau merepotkan suami dan adikmu, dan memilih menahan rasa sakit itu sendirian. Sekali lagi aku mengutuk diriku sendiri yang tidak mampu menjadi sahabat terbaik bagimu. Andai aku bisa disampingmu mungkin kamu akan bercerita kepadaku, seperti dulu, ketika kita melalui hari-hari indah bersama.

Ingatanku kembali melayang. 15 tahun yang lalu, dalam sebuah acara pelatihan kepemimpinan yang diadakan fakultas, kita mulai berkenalan. Pembawaanmu ramah dan riang, berbeda denganku yang cenderung tertutup dan menyendiri, membuat kita seperti panci dan tutup, saling melengkapi. Darimu aku belajar bahwa hidup itu sangat menyenangkan dan harus dinikmati. Aku yang tadinya study minded, mulai membuka diri untuk hal-hal diluar itu. Kamu mengajakku berorganisasi, dimana aku mengenal lebih banyak orang dan punya kegiatan yang positif. Begitu akrabnya kita sampai teman-teman sekampus mengenal kita sebagai duo, dimana ada aku disitu pasti ada kamu, begitu juga sebaliknya. Tawa canda, gelak tawa memenuhi hari-hari kita selanjutnya. Nyaris tidak ada pertengkaran diantara kita. Aku yang anak pertama memahami betul karaktermu sebagai anak bungsu yang manja dan butuh perhatian. Dan kamu tahu betul karakterku yang suka mendikte serta keras kepala. Tapi aku pendengar yang baik, katamu waktu itu.

Ah...waktu memang tidak pernah berpihak pada kita. Aku melaju lebih cepat darimu. Ketika aku gagal ujian pendadaran pertama kali ada kamu disana, menyediakan bahumu untukku menangis. Memberi semangat dan motivasi supaya aku bisa lulus ujian berikutnya. Dan akhirnya aku lulus lebih dulu dari kamu. Masih terbayang dipelupuk mataku, hari ketika aku dinyatakan lulus ujian pendadaran. Kamu dan teman-teman yang lain menungguku diluar dengan harap-harap cemas. Dan ketika aku keluar ruangan dengan senyum mengembang, kau mulai bertanya dengan tak sabar dan kita melompat kegirangan seperti anak kecil ketika aku bilang aku lulus. Kau juga turut sibuk menyiapkan wisudaku. Kesana-kemari mencari salon yang akan aku pakai, juga mengurus administrasi ini itu. Hingga akhirnya hari perpisahan itu tiba, aku sudah selesai dan harus melanjutkan hidupku, merantau di belantara ibukota. Sementara dirimu masih harus berjuang menyelesaikan studi. Kita trus berhubungan, meski tidak seintensif dulu. Setelah luluspun kau lebih memilih bekerja di Semarang. 

Suatu hari kita bicara lewat telepon, kau ungkapkan kegundahanmu akan jodoh yang tak kunjung datang. Dan aku bertanya kepadamu, bolehkan aku beri nomer teleponmu andai ada teman atau saudaraku yang berniat sama denganmu. Kau bilang tidak keberatan. Tuhan memang sudah mengatur segalanya. Saudara sepupu suamiku yang masih bujangan sedang mencari seorang istri yang siap menikah. Akhirnya aku memberikannya nomer teleponmu kepadanya, dengan seijinmu tentunya. Dan dengan ijin Tuhan hubunganmu berlanjut sampai ke pelaminan. Waktu kamu menikah, anakku sedang kurang sehat sehingga hanya suamiku yang menyaksikan janji suci kalian yang dilangsungkan di kota kelahiranmu, Wonogiri. Sahabat terbaikku menjadi kakak sepupuku.

Hidup terus berjalan. Beberapa bulan setelah menikah kaupun hamil. Dan aku juga dalam kondisi hamil ketika itu. Dua bulan jarak kehamilan kita, aku lebih dulu. Kita jarang bertemu, karena keadaan itu. Aku dengar kamu mulai sakit-sakitan. Pre eklampsia, itu diagnosa dokter untukmu waktu itu. Sekali waktu kita pernah ktemu, di arisan keluarga kita, kau jauh berubah dari yang kuingat dulu. Kau kelihatan lelah dan tak bersemangat, jauh lebih pendiam. Mana semangatmu? Tanyaku waktu itu. Mungkin karena kehamilan berat yang kau alami. Aku memotivasimu, aku bilang obat yang paling mujarab untuk segala penyakit adalah semangat kita, kemauan kita untuk melawan penyakit itu. Kau hanya tersenyum menanggapi kebawelanku. Kemudian kita bercerita tentang masa lalu, tertawa kembali mengingat kekonyolan kita. 

Tanggal 22 Oktober 2011, seorang bayi mungil terlahir dari rahimmu, walau harus dengan operasi caesar. Bayi laki-laki yang lucu, kalian memberinya nama Lionel Siswanto Anam. Lionel karena bapaknya penggemar berat Lionel Messi bintang Barca yang terkenal itu, Siswanto adalah nama Bapak Wonogiri, sedang Anam adalah nama keluarga suamimu. Lengkap sudah kebahagiaan keluarga kecilmu. Namun tak berlangsung lama karena bapak yang sangat kau sayangi akhirnya dipanggil Tuhan lebih dulu karena diabetes. Aku tahu itu sangat menyedihkan bagimu, mengingat kedekatanmu dengan beliau. Suatu hari saat bertemu aku pernah mengingatkanmu untuk menjaga pola makan, mengingat kita ini adalah keturunan penderita diabetes. Bapakmu dan ibuku adalah penderita diabetes, kata orang itu penyakit degeneratif alias menurun. Aku tahu betul kebiasaanmu dulu, penggemar kuliner, kebiasaan yang sangat beresiko untuk kita. Didukung cerita adik iparmu mengenai kebiasaanmu makanmu yang semakin menjadi.

Hari demi hari kesehatanmu terus menurun, hingga suatu hari kamu harus dilarikan kerumah sakit. Jantungmu bengkak, tensimu tinggi dan dalam paru-parumu terdapat cairan. Hari-hari setelah itu mungkin adalah hari menyakitkan bagimu. Dan bodohnya aku, aku tak ada disana untukmu. Aku terlalu sibuk dengan urusanku sendiri hingga tak menyadari sahabat tercintaku sangat membutuhkanku. Tetapi Tuhan sangat mencintaimu, Ia memberimu adik ipar yang kuat dan tegar. Yang dengan kesabarannya merawatmu dan anakmu, hingga saat terakhirmu. 

Selamat jalan sahabatku, sugeng tindak Rin.... Tuhan yang mahacinta tidak membiarkanmu menderita lebih lama. Tuhan pasti telah menyiapkan tempat terbaik untukmu di sana, di tempat kehidupan abadi. Kami yang kau tinggalkan masih harus terus melanjutkan peziarahan kami di dunia ini, hingga suatu saat kami pasti akan menyusulmu. Tidak ada yang sia-sia dalam hidupmu, lihatlah begitu banyak teman dan sahabat yang kehilangan kamu. Dan lihatlah Lionel buah hatimu, prasasti hidupmu yang akan terus tumbuh menjadi laki-laki yang kuat. Kami menyayangimu, dan selama kami hidup, kenangan tentangmu akan terus hidup. Rest in Peace my dearest friend, beristirahatlah dalam damai Tuhan.

“……jikalau kita percaya bahwa Yesus telah mati dan telah bangkit, maka kita percaya juga bahwa dengan perantaraan Yesus, Allah akan mengumpulkan bersama-sama dengan Dia mereka yang telah meninggal” (1Tes 4:14).
  “Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita. “(Roma 8:38-39)

 * Dedicated to my dearest Friend : Lucia Maria Widya Sulastrini (Lahir: 13-12-1977, Wafat : 17-09-2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan jejak disini :)