Senin, 01 Oktober 2012

Tawuran pelajar salah siapa???

Beberapa hari ini koran nasional memuat tentang perkelahian pelajar alias tawuran yang kian marak, bahkan sampai memakan korban jiwa. Miris sekali baca berita ini. Pelajar yang seharusnya menuntut ilmu sebanyak-banyaknya demi masa depan mereka, keluarga dan bangsa pada akhirnya harus terlibat perkelahian yang kadang sebabnya hanya masalah sepele. Terinjak secara tidak sengaja di bis kota misalnya, atau rebutan pacar. Dengan mengatasnamakan harga diri sekolah atau individu yang merasa direndahkan mereka bisa mengeroyok anak sekolah lawan yang bahkan tidak tahu menahu atau tidak terlibat sama sekali. Ujung-ujungnya anak yang 'tidak berdosa' jadi korban sia-sia.

Flashback beberapa tahun yang lalu, ketika saya masih numpang di rumah salah seorang famili. Suatu hari saya bertanya kepada sepupu saya yang waktu itu masih sekolah di salah satu SMK, kenapa tidak pernah memakai bagde sekolah di seragamnya. Jawabnya adalah : "males mbak, daripada jadi korban tawuran salah kaprah mending di tegur guru BP dah!" Lho, kok bisa gitu? "Iya soalnya, klo kena sweeping sekolah musuh bisa babak belur dihajar, masih mending klo slamet." Wah...ironis sekali ya???

Trus salah siapa sih kenakalan pelajar itu? Hmmm...klo ini sih masalah yang ruwet, dah ngalahin benang kusut ruwetnya. Mulai dari keluarga, lingkungan pergaulan, lingkungan sekolah, juga banyaknya tontonan tidak mendidik yang dengan mudah diakses oleh anak-anak kita misalnya sinetron yang mengumbar adegan kekerasan fisik maupun verbal punya andil dalam pembentukan karakter anak-anak kita tercinta. 

Beberapa hari yang lalu saya dan suami sangat kaget, ketika si kakak yang baru 4,5 tahun mengumpat dengan kata-kata 'brengsek'. Kami sebagai orang tua sudah berusaha sekali memilih kata-kata didepan mereka, tapi apa daya, ternyata ketika kami bekerja pengasuhnya yang suka sekali dengan sinetron rupanya selalu menonton sinetron yang sarat kekerasan dan makian. Anak umur segitu baru bisa menirukan, walau belum paham maknanya. Saya mencoba memberi pengertian kepada pengasuhnya, yang notabene masih saudara untuk membatasi televisi di siang hari, kalau malam hari saya tidak ambil pusing karena anak-anak saya yang pegang. Kepada si kakak saya beri pengertian bahwa kata-kata itu kurang bagus dan tidak sopan, saya berharap dia mengerti penjelasan saya. Apa boleh buat kata-kata itu sudah terlanjur terekam di benaknya. Saya berusaha memberinya sugesti positif untuk mengalahkan kata-kata itu. Eh...kok saya ceritanya malah OOT ya?? Tapi bisa jadi hal kecil seperti yang saya ceritakan ini bila dibiarkan bisa berpengaruh pada karakter anak kelak.

Sebagai orang tua, saya merasa masih harus banyak berbenah, supaya anak saya kelak tumbuh menjadi pribadi yang dewasa, bertanggung jawab dan berbudi pekerti luhur. Anak yang menghargai orang lain sebagaimana dia ingin dihargai, yang punya toleransi tinggi terhadap kebhinekaan dan punya empati yang tinggi terhadap sesamanya. Yah....daripada mencari siapa yang salah, saya lebih suka menghimbau kepada setiap orang tua supaya menjaga buah hati mereka dari pergaulan dan pengaruh yang kurang baik, seraya memagari mereka dengan akhlak dan budi pekerti sehingga masa depan generasi mendatang tidak lagi diwarnai aksi tawuran dan perkelahian yang hanya bermuara pada kehancuran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan jejak disini :)