Kamis, 26 September 2013

Bapakku pahlawanku

Tempo hari, waktu lagi ijin keluar kantor aku ketemu dengan situasi yang menurutku menyentuh emosiku. Jadi ceritanya begini, aku melihat seorang bapak menggendong anaknya yang masih batita didadanya dari arah belakang. Semakin dekat, aku semakin tertarik mendengar si bapak bersenandung lagu anak-anak. Balonku ada lima....... Saat kusalib, aku baru tahu ternyata ada anaknya yang lebih besar berdiri di depan. Anak TK, masih dengan seragamnya, bernyanyi dengan semangat mengikuti bapaknya. Aku tersenyum dan entah kenapa dadaku rasanya sesak, ada perasaan haru menyelinap dalam hatiku. 

Jaman sekarang memang tidak aneh jika seorang bapak harus berbagi peran dengan istrinya untuk mengurusi anak-anak. Tapi mendapati seorang bapak yang bahkan dengan sabar dan telaten, mengabaikan rasa malu melayani celoteh anaknya, menyanyi bersamanya sepanjang jalan, sementara ia juga menggendong satu lagi anak didadanya termasuk hal yang langka. Ada perasaan hangat yang mengalir entah darimana setiap mendapati momen yang so sweet begitu. Mungkin karena aku juga sangat dekat dengan bapak. Memori masa kecilku dipenuhi dengan kenangan bersama beliau. 

Bapak tidak pernah marah melihat kenakalanku. Beliau bisa 'menjinakkanku' dengan caranya sendiri. Aku yang tomboi, yang suka memanjat pohon, yang lebih suka memakai celana pendek daripada rok, yang lebih suka main tembak-tembakan daripada pasaran, yang lebih suka main gundu dan layangan daripada lompat tali. Yang lebih nyaman bermain bersama anak lelaki daripada anak perempuan. Bapaklah yang membuatkanku layangan, membelikan gundu, membuatkan tembak-tembakan dari bambu. Tapi bapak juga yang memunculkan sisi feminin dari diriku. Beliau membuatku memanjangkan rambut hingga separo paha(sampai semester 5 di bangku kuliah), beliau dengan telaten mengantarkanku les menari, padahal untuk itu harus ke kota kabupaten yang jaraknya hampir 10 km. Bapak juga suka mendongengi kami bertiga sebelum tidur siang, upah memijit beliau. Bapak yang memandikan dan mengurus kami ketika ibu sibuk memasak dan mengurus rumah. 

Ada satu kejadian sedih sekaligus lucu yang masih kuingat. Saat itu usiaku masih 7 atau 8 tahunan. Jadi ceritanya waktu kecil aku memang raja bandel, apalagi kalau disuruh mandi. Satu kebiasaan sebelum mandi adalah kami bertiga main kejar-kejaran dengan bapak keliling kampung dengan hanya pakai baju dalam 
(yup.... dalam arti yang sebenarnya hahahaha....). Pokoknya begitu bapak bilang ayo mandi, kami ancang-ancang lari wkwkwk.... Suatu siang bapak minta diinjak-injak badannya. Nah mungkin karena kami terlalu semangat, bukannya pegelnya ilang malah boyoknya sakit. Seperti sore sebelumnya kami mulai berlari saat bapak menyuruh mandi. Tapi yang membuat aku terkejut bukan main adalah ketika kami menunggu dan tak kunjung tiba dan kemudian menemukan bapak harus berjalan pakai tongkat untuk mengejar kami. Rasanya bersalah sekali. Tanpa banyak omong aku suruh adik-adik ikut pulang dan mandi dan rasanya itu menjadi saat berakhirnya adegan kejar-kejaran setiap sore.

Hampir setiap sore, setelah mandi, bapak mengajak kami berempat(dengan seorang ponakan yang sebaya) naik sepeda motor ke tepi jalan raya. Saat itu kendaraan masih menjadi sesuatu yanmg membuat kami nggumun(heran). Bahkan di awal-awal kepindahan kami ke Sragen(tadinya tinggal di Brebes) kami masih mendapati anak-anak berebut mencium bau asap knalpot motor yang lewat. Dan anehnya aku mengikutinya, bahkan ketika bapak yang lewat hahaha.... Betapa senangnya kami ketika ada truk tangki atau mobil bagus yang lewat. Bermain di pinggir lapangan, mencari pohon putri malu, balapan daun di air dan masih banyak lagi keasyikan sederhana sebagai anak kecil yang membuat kami tertawa gembira.

Aku dekat sekali dengan bapak. Apapun yang terjadi aku mencari bapak. Sejak kelas 2 SD aku tidak mau tidur bersama bapak atau ibu. Sempit begitu alasanku, mengingat gaya tidurku waktu itu yang rada-rada ajaib. Nah, aku paling takut sama yang namanya suara anjing. Jika tengah malam aku ketakutan aku akan teriak memanggil bapak, dan beliau dengan sabar menemaniku hingga aku tertidur kembali. Beliau juga menanamkan dalam pikiranku bahwa aku harus menjadi pemberani, kata bapak setan atau hantu itu takut sama orang yang pemberani.

Kemudian beranjak dewasa kami(entah aku atau bapak atau justru kami berdua) mulai menjaga jarak, rasanya malu kalau masih bermanja dengan bapak. Beliau memberi kepercayaan dalam banyak hal. Bahkan dalam hal pendidikan atau bahkan dalam hal mencari jodoh. Ketika usiaku mulai bertambah sementara aku tidak pernah mengenalkan seorang laki-lakipun ke bapak ibu, bapak dengan caranya sendiri terus mendukungku. Disaat saudara mulai banyak bertanya kapan? Dan ibu mulai mencoba mengenalkanku ke si itu, si anu, bapak stay cool aja. Mungkin mereka berbagi peran, aku tak tahu. Dan ketika akhirnya aku berniat mengenalkan seorang laki-laki yang kupilih menjadi calon suami, walau pada awalnya ibu masih ragu mengingat kami berlainan suku, bapak mendukungku.

Bapakku tercinta


Bapak jarang sekali marah, tapi sekalinya marah wooo...jangan tanya. Rasanya takuuut sekali. Bahkan tanpa beliau ngomong apa-apa pun. 

Hahaha...rasanya malu menuliskan ini semua, tapi kenangan ini terlalu manis bila hanya diingat. Karena sepanjang apapun ingatan manusia tidak jauh dari yang namanya lupa. Selamanya aku tak ingin melupakannya, makanya aku menuliskannya disini. Rasanya takkan habis cerita tentang bapak. 
Bapakku. Pahlawanku.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan jejak disini :)