Senin, 14 Januari 2013

Cobaan Hidup

Kemarin aku menengok kawan lama sekaligus atasan suamiku sekarang. Sudah bertahun-tahun temanku ini menderita kelumpuhan tapi karena kinerjanya yang bagus dia masih dipercaya untuk mengelola sebuah cabang perusahaan dan mengepalainya. Kebetulan aku juga mengenal istrinya karena pernah ktemu beberapa kali. Perempuan luar biasa yang berjuang lahir batin mendampingi, memotivasi sekaligus melayani suaminya yang bisa dikatakan sangat bergantung padanya. 

Kurang lebih 10 tahun sudah kami saling kenal. Aku sedikit banyak tahu perjalanan hidupnya. Sewaktu masih satu kantor denganku, dia masih sehat, belum mengalami kelumpuhan. Orang yang energik, spontan dan ceplas-ceplos (yang belum kenal bisa tersinggung atau mengerutkan dahi kalau mendengar omongannya :) hehehe ) dan mempunyai solidaritas yang luar biasa kepada rekan-rekannya. Sedangkan istrinya yang waktu itu masih bekerja di salah satu bank swasta ternama, baru aku kenal belakangan setelah temanku ini menjadi atasan suamiku.

Beberapa tahun setelah resign aku mendengar temanku ini terserang suatu penyakit yang membuatnya kehilangan kemampuan berjalan. Kabarnya dokter pun tidak tahu persis penyakit yang dideritanya. Hingga suatu hari aku berkesempatan bertemu dengan istrinya di acara kantor suami. Dia suatu villa di puncak yang kami sewa, entah apa sebabnya, mungkin karena aku sudah mengenal lama suaminya, mendengar juga sepak terjangnya, istrinya bercerita panjang lebar kepadaku tanpa tedeng aling-aling mengenai suaminya. Mengenai pengkhianatan serta 'kenakalan demi kenakalan' yang dilakukannya hingga dia menderita seperti sekarang. Dan hanya demi anak-anaknya dan demi kemanusiaan dia tetap bertahan mendampingi suaminya, karena rasa cinta baginya sudah terbang entah kemana. Aku hanya terdiam pilu, meneteskan airmata dan sesekali menghiburnya. Naluriku sebagai wanita bisa turut merasakan kepedihannya.

Kemarin empat tahun berlalu setelah curhatnya. Cobaan yang dialaminya bukannya mereda malah semakin menjadi. Suami yang menjadi tulang punggung keluarganya (dia memutuskan berhenti kerja demi mengurus anak waktu anaknya masih kecil dan ketika anaknya beranjak besar gantian mengurus suaminya), kembali sakit parah. Dokter mendiagnosa ada kelenjar (belum diketahui ganas tidaknya) didalam paru-parunya. Kesehatannya menurun drastis.

Tetapi ajaibnya ketika kami kembali berbincang, rasa putus asa dan sakit hati yang pernah diutarakannya kepadaku tiada lagi. Yang ada hanyalah penyerahan yang begitu total kepada Tuhan dan cinta tanpa syarat kepada suaminya. Aku begitu takjub mendengar penuturannya. Bagaimana dia begitu sabar menghadapi suami dan penyakitnya, bagaimana dalam kesedihannya dia tetap mendidik anak-anaknya yang sekarang beranjak dewasa, untuk menghormati papanya apapun keadaan dan masa lalunya. Sosok perempuan hebat dan luar biasa. Coba anda hitung berapa banyak perempuan seperti itu. Sudah dikhianati berkali-kali tetapi ketika suaminya terkena musibah dia tetap setia mendampingi, melayaninya dengan sabar. Padahal kalau mau, dia bisa saja meninggalkannya, lha wong waktu itu umurnya masih muda, masih cantik, berpendidikan pula. Ketabahannya, kekuatan hatinya untuk memaafkan, dan ketegarannya benar-benar membuatku takjub. Dia malah menasehatiku, sebagai seorang wanita berhati-hatilah dalam berucap terutama untuk suami dan anak-anak, karena ucapan seorang istri dan ibu itu ibaratnya sebait doa, apapun adanya. Sebisa mungkin berucaplah yang baik-baik saja.

Tuhan.... semoga cobaan, ujian atau apapun itu namanya yang Engkau berikan kepada mereka segera berakhir dengan sukacita. Amin.














Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan jejak disini :)