Kamis, 22 November 2012

Cerbung - Senandung Cinta Anindya # 1

PERTEMUAN

Kupandang wajah tirus didepanku. Ganteng, masih seperti dulu. Namun tampaknya wajah yang dulu membuatku jatuh cinta berkali-kali itu menyimpan beban yang begitu berat. Sepuluh tahun nampaknya waktu yang cukup untuk merubahnya.
"Kamu masih seperti dulu Nien," katanya memecahkan kebisuan di antara kami."Masih tetap cantik."
"Terima kasih," jawabku sedatar mungkin. Fiuhhh...mudah-mudahan dia tidak mendengar detak jantungku, batinku.
"Bagaimana kabarmu sekarang? Sudah berapa anakmu?"
"Aku masih sendiri Mas,"jawabku pendek.
"Ah....yang bener. Perempuan secantik kamu?"ujarnya seakan tak percaya.
Aku hanya tersenyum. Suasana jadi agak kikuk. Dia memandangku lekat, sedangkan aku pura-pura asyik menikmati minumanku dan live music yang disuguhkan di kafe itu. Sumpah mati aku grogi. Tapi tentunya aku terlalu gengsi untuk memperlihatkan perasaanku.
"Dia mengkhianatiku Nien. Ternyata dari awal bukan aku yang diincarnya. Kamu tahu Aditya sepupuku kan? Yang dulu naksir kamu. Ternyata dia yang diincar Dinda. Kami, aku dan anakku hanyalah korban keegoisannya. Dia meninggalkan kami dan menjalin hubungan dengan Aditya. Akhirnya aku menceraikannya lima tahun yang lalu. Sekarang aku hidup bersama anak semata wayangku, Viola," ceritanya panjang lebar tanpa kuminta.
"Aku.....turut prihatin Mas,"kataku.Terus terang aku tak tahu harus bersikap bagaimana menanggapi ceritanya. Mungkinkah aku harus bersorak senang? Tentu saja tidak. Walau harus kuakui, di lubuk hatiku yang paling dalam tersimpan sedikit harapan.
"Kamu sendiri kenapa belum menikah Nien. Pastinya banyak laki-laki yang menginginkanmu menjadi istrinya kan?"
"Belum ada yang cocok Mas,"potongku cepat. Aku tidak suka jika ada yang mengungkit atau bertanya tentang keputusanku untuk melajang hingga saat ini.
"Oya, trus siapa yang nemenin Viola kalau Mas Yoga kerja,"tanyaku mengalihkan pembicaraan.
"Kamu masih ingat mbok Darmi? Eh....lupa mungkin ya? Sudah terlalu lama ya kita ga ktemu. Mbok Darmi itu pengasuhnya Dimas, adik bungsuku. Nah, sekarang dia ikut denganku karena momongannya sudah kuliah di Melbourne. Lagipula dia tidak punya keluarga," katanya panjang lebar.
"Aku masih ingat kok mas, yang dulu suka momong Dimas kan? Mengikuti kemanapun Dimas kecil pergi sambil bawa-bawa piring makannya," ujarku sambil tersenyum.
"Wah...kamu masih ingat aja ya Nien. Hahaha.....iya si Dimas itu dulu susah sekali makannya sampai badannya kerempeng. Kamu pasti pangling kalau lihat dia sekarang. Perawakannya tinggi besar kaya orang bule."
Aku tersenyum menanggapinya. Ah...andai kamu tahu mas, mungkin kamu akan terkejut karena tak ada satu hal pun tentang kamu tersilap dari ingatanku. Semua tentang kamu masih tersimpan rapi dihatiku, batinku.
Kebisuan kembali menguasai. Aku memandang ke panggung sambil mengetuk-ngetukkan jari mengikuti irama musik. Lewat ekor mataku kutahu Mas Yoga memperhatikanku, pipiku terasa panas merona. Tak tahan lama-lama dalam posisi itu, aku memulai percakapan.
"Gimana kerjaan Mas Yoga? Aku dengar sering keluar kota ya?"
"Eh, kok tahu aku sering keluar kota Nien? Kayaknya aku belum pernah cerita ke kamu deh...,"selidiknya
Upsss salah. Mati aku! Ketahuan deh aku masih memantau kabarnya.
"Eng....ya dari time line mas Yoga, kita kan masih berteman di facebook,"ujarku sekenanya. Dia mengernyitkan kening.
"Oya....perasaan aku jarang posting disitu ya. Ah, mungkin aku yang lupa. Tapi aku senang kamu masih memperhatikan aku,"tuturnya sambil tersenyum. "Eh, kamu masih tinggal di tempat kos? Masih ada jam malamkah?"sambungnya.
"Enggak mas, aku sekarang tinggal di rumah sendiri bareng sahabatku. Masih nyicil sih, daripada ngontrak terus. Tadi aku dah bilang sama Winda, sahabatku, mau pulang malam. Atau kita pulang aja sekarang mas, takutnya Viola nyariin papanya. Kapan-kapan kan kita masih bisa ktemu,"ujarku. Kemudian aku menyesali kalimat terakhir yang kuucapkan. Nien...masih belum cukupkah kamu telan pil pahit itu, sedangkan rasanya masih nyata ditenggorokan, rutukku dalam hati.
"Bener Nien? Kamu ga keberatan kalau kita bertemu lagi?Aku senang sekali Nien, kamu takkan tahu betapa aku membutuhkan seseorang sepertimu sekedar untuk berbagi cerita. Setelah pengkhianatan Dinda rasanya aku sulit mempercayai wanita manapun. Aku menghabiskan hari-hariku dengan kerja dan terus bekerja sebagai pelarianku. Satu-satunya hiburan hanyalah Viola. Bertemu denganmu membuat aku menemukan diriku kembali. Terima kasih ya....,"ucapnya sungguh-sungguh.
"Tapi mas......"
"Ah, ibu ya? Aku bukan anak kemarin sore lagi Nien, dulu aku memang terlalu pengecut untuk membelamu. Sekarang aku lelaki dewasa yang bisa mengatur hidupku sendiri, kehidupan rumah tanggaku yang pahit telah membentuk diriku. Lagipula ibu sudah banyak berubah sekarang. Ayo, kita pulang sekarang, besok masuk kerja kan? Nanti kamu kelelahan,"ajaknya.
"Aku naik taksi aja deh mas, jam segini masih rame kok,"tolakku secara halus.
"Aduh.....aku tahu kamu bisa menjaga diri, tapi aku takkan tenang membiarkanmu pulang sendirian malam-malam begini. Atau jangan-jangan takut ada yang cemburu ya?"
Aku hanya menggeleng. Setelah memanggil pelayan dan membayar bill dia segera berdiri sambil mengulurkan tangan.
"Kalau begitu tunggu apa lagi yuk,"katanya.

Aku berdiri sambil pura-pura asyik membenahi pakaianku, rasanya tak enak menolak uluran tangannya, tapi untuk menerimanya aku tidak siap. Hatiku masih terlalu rapuh, sepuluh tahun takkan cukup bagiku untuk menatanya kembali. Pertemuan kembali yang awalnya tanpa sengaja mengorek kembali kenangan lama yang setengah mati berusaha kulupakan. Sepanjang perjalanan pulang kami lebih banyak berdiam diri. Sesekali Mas Yoga berusaha memancing obrolan, namun aku terlalu sibuk menenangkan detak jantungku. Terus terang aku belum bisa menguasai perasaanku. Tapi tentu saja aku tidak ingin Mas Yoga mengetahuinya. Sesampai di depan rumah, setelah mengucapkan terima kasih aku ingin segera berlalu. Tapi Mas Yoga memegang tanganku...

"Terima kasih atas malam ini. Kapan-kapan kita bisa ketemu lagi kan?"tanyanya penuh harap.
Aku hanya mengangguk dan segera memalingkan wajahku. Aku tak ingin dia menemukan semburat merah dipipiku.
"Hati-hati ya mas...salam untuk Viola,"kataku. 
"Ya...nanti aku sampaikan, sleep well ya...sampai ktemu lagi."
Aku memandang mobilnya sampai menghilang di tikungan. Winda yang dari tadi mengintip lewat jendela, membuka pintu dan buru-buru menggelandangku masuk sambil ketawa cekikikan menggodaku. Ehm...nih anak pasti kumat keponya. Sebentar lagi dia pasti memberondongkan sejuta pertanyaan layaknya detektif menanyai tersangka.

----bersambung----


















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan jejak disini :)